Menakar Urgensi RUU Dewan Pertimbangan Agung Dilihat Dari Peranan Wantimpres Saat Ini

by admin
0 comment

Oleh : Amirudin

Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi Undang-Undang tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sehingga kembali menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan menghapus batasan jumlah anggota memicu isu pro dan kontra tidak sedikit yang mencurigai hal tersebut merupakan langkah upaya bagi-bagi jabatan kepada rekan koalisi Presiden terpilih saat ini.

Revisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sesungguhnya tidak masuk dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2020-2024. Namun pada 9 Juli 2024 Badan Legislatif DPR memutuskan membawa rancangan undang-undang (RUU) tersebut ke dalam rapat paripurna untuk disahkan menjadi usulan inisiatif DPR setelah disepakati Sembilan fraksi di rapat pleno.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan ada beberapa perubahan dala revisi UU Wantimpres, diantaranya memuat, Wantimpres diganti menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA), tidak ada batasan jumlah anggota DPA, dan Anggota DPA akan berstatus pejabat Negara. Supratman juga mengklaim meskipun nomenklatur hingga syarat menjadi anggota DPA ada perubahan namun tugasnya tetap memberikan pertimbangan Presiden, namun mengenai jumlah yang tidak dibatasi, Supratman beralasan agar presiden nanti bisa mendapatkan orang-orang terbaik dan disesuaikan dengan kebutuhannya.

 

Historis Dewan Pertimbangan Agung

Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tugas pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden telah dikenal dan berlangsung sejak lama yang dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan pelaksanaannya diatur dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung, dan telah diubah dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1978 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung.

Dewan Pertimbangan Agung merupakan salah satu lembaga negara yang dihapuskan dalam perubahan keempat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum perubahan, Dewan Pertimbangan Agung diatur dalam bab tersendiri, yaitu BAB IV Dewan Pertimbangan Agung. Setelah perubahan, keberadaan Dewan Pertimbangan Agung diganti dengan suatu dewan yang ditempatkan dalam satu rumpun BAB yang diatur dalam BAB III Kekuasaan Pemerintahan Negara. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan suatu dewan yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden masih tetap diperlukan, tetapi statusnya menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara yang berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Keberadaan dewan pertimbangan tersebut dituangkan pada Pasal 16 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam Undang Undang.

Undang Undang Nomor 19 Tahun 2006 mengatur keberadaan suatu dewan pertimbangan yang disebut dengan Dewan Pertimbangan Presiden. Walapun demikian, kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden tidak dimaknai sebagai sebuah dewan pertimbangan yang sejajar dengan Presiden atau lembaga negara lain seperti Dewan Pertimbangan Agung pada masa sebelum perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Akan tetapi dari awal berdirinya Dewan Pertimbangan Presiden tersebut sampai hari ini masih memperlihatkan kondisi bahwa eksistensi dan peran dari lembaga ini kurang terlihat. dari mekanisme kerja yang dijalankan bahwa lembaga Dewan Pertimbangan Presiden tidak begitu memiliki peran dalam penyelenggara ketatanegaraan Indonesia dan Dewan Pertimbangan Presiden tidak begitu bermanfaat dalam penyelenggara Negara serta kedudukannya yang tidak jelas.

Menurut gagasan dan pendapat Prof Jimmly Asshidiqie tentang kedudukan dan fungsi lembaga Negara maka Dewan Pertimbangan Presiden dilihat dari segi hierarkinya berkedudukan sebagai lembaga Negara lapis kedua yang berada dibawah lembaga Negara lapis pertama yang disebut lembaga tinggi Negara karena pada prinsipnya bahwa Dewan Pertimbangan Presiden bukan lagi menjadi lembaga tinggi Negara seperti Dewan Pertimbanga Agung sebelumnya. Sedangkan jika dilihat dari fungsinya Dewan Pertimbangan Presiden merupakan organ pendukung atau penunjang karena Dewan Pertimbangan Presiden tidak melaksanakan fungsi utama dari kekuasaan eksekutif seperti halnya Presiden dan/atau Wakil Presiden melainkan hanya memberikan dukungan kepada Presiden dalam bentuk nasihat dan pertimbangan.

Perubahan UUD NRI Tahun 1945 tentunya memiliki tujuan dasar seperti mengurangi kapasitas kewenangan Presiden yang terlalu besar pada era orde baru dahulu, selain adanya pembatasan kewenangan Presiden, Perubahan UUD juga turut serta mngubah kedudukan Dewan Pertibangan Agung yang pada masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Indonesia Republik Indonesia 1945 merupakan lembaga tinggi Negara menjadi organ yang bernaung di bawah kekuasaan eksekutid dengan nama Dewan Pertimbangan Presiden.

Dewan Pertimbangan Agung yang saat ini dikenal sebagai Dewan Pertimbangan Presiden bukanlah hal yang baru di Indonesia. Dahulu lembaga penasehat serupa pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di Indonesia sudah pernah ada, lembaga tersebut memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dari lembaga penasehat saat ini. Pada masa itu lembaga penasehat tersebut bernama Raad Van Nederlandsch Indie yang memiliki tugas dan kewenangan yang mencangkup, antara lain :

  1. Memberikan nasehat atau pertimbangan-pertimbangan kepada Gubernur Jenderal mengenai hal-hal yang wajib dimintakan nasehatnya oleh Gubernur Jenderal.
  2. Memberikan nasehat mengenai hal-hal tertentu yang dianggap penting oleh Gubernur Jenderal.

Landasan konstitusional Wantimpres adalah Pasal 16 UUD 1945, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2006, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Wantimpres berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.

 

Menilai Urgensi Revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Agung

           Kritik Pakar hukum administrasi negara, Dian Puji Simatupang, mengatakan orang-orang yang masuk dalam Wantimpres biasanya adalah mantan menteri, pensiunan pejabat negara, atau mereka yang dianggap ‘taat’ dengan Presiden. Itu mengapa ada anggapan Wantimpres mustahil memberikan nasihat atau pertimbangan yang berseberangan dengan Presiden. Dari segi fungsi, Wantimpres juga dianggap tidak berdaya guna, sebut Dian Puji. Sebab nasihat atau pertimbangan yang mereka sampaikan belum tentu diterima atau diakomodir Presiden. Sekarang jika DPR ingin merevisi UU Wantimpres dengan mengubah hal-hal yang disebutnya tidak signifikan, maka menurutnya percuma dan hanya menambah beban anggaran saja. Sementara kinerjanya tidak terlihat. Kerjanya hanya memberikan nasihat tapi jumlah [anggota] berjibun, buat apa? Jadi beban APBN, padahal anggaran dikeluarkan harus berbasis kinerja.Kecuali fungsinya diperkuat seperti di Prancis yang bertugas sebagai banding administratif pemerintah. Kalau warga protes bisa mengadu ke mereka, jadi bermanfaat. Misalnya ada perilaku menteri yang tidak benar dilaporkan ke Dewan Pertimbangan Agung dan disampaikan secara terbuka, kan ada fungsinya.Tapi kalau cuma penasihat kan bingung, kerjanya apa?

Harapannya dalam revisi UU Wantimpres, DPR turut memperkuat peran lembaga tersebut, dengan menambahkan tugas baru selain memberikan nasihat atau pertimbangan. Yakni bertugas sebagai banding administatif bagi warga. Kemudian menetapkan kriteria spesifik seperti independen, tidak pernah menjadi bawahan presiden, dan berintegritas.

Terkait jumlah anggota dalam Revisi UU Watimpres diharapkan dibatasi tidak melebihin lima atau tujuh orang sebab Presiden sudah dibantu oleh Wakil Presiden dan para Menteri-Menterinya, selain itu lembaga pertimbangan dilihat dari kualitas bukan dari jumlah orangnya.

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti memberikan pendapat bahwa revisi UU Wantimpres tidak ada urgensinya sama sekali dan jika DPR hanya mengubah nomenklatur serta menambah jumlah anggota maka hal itu tidak lebih sebagai upaya bagi-bagi jatah “kue” jabatan kepada rekan koalisi presiden terpilih Prabowo Subianto. Wantimpres atau DPA dinilai tidak mempunyai wewenang yang bisa dieksekusi hanya memberikan nasehat kepada Presiden.

Merujuk pada lembaga penasehat yang dibentuk Presiden saat ini Joko Widodo seperti Kantor Staf Presiden (KSP), Wantimpres dan tujuh milenial Staf Khusus Presiden, presiden sebetulnya tidak kekurangan nasihat, justru keberadaan mereka dinilai tidak ada gunanya dan hanya membuang-buang anggaran Negara, mengingat lembaga negera menerima hak keuangan serta fasilitas lainnya sesuai dengan yang diberikan kepada Menteri Negara.

Hal lain Pembentukan DPA dinilai hanya ingin mengakomodasi ide Presidential Club Ala Prabowo yan berisi para mantan presiden yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri termasuk Joko Widodo.

Beberapa alasan mengapa publik menganggap Dewan Pertimbangan Presiden tidak diperlukan diantaranya: Pertama, dalam fungsinya sebagai kepala pemerintahan, Presiden membentuk kabinet yang didalamnya diisi oleh tenaga professional yang sudah berkompeten dibidangnya. Atas dasar tersebut, lebih elok kiranya bagi Presiden untuk meminta nasihat maupun pertimbangan dari kabinet yang telah dipilihnya. Kedua, meskipun anggota DPA merupakan para tenaga professional, namun keberadaannya yang tidak langsung turun ke pemerintahan dapat mengakibatkan nasihat serta pertimbangan yang telah diberikan kepada Presiden tersebut dapat tidak efektif. Ketiga, penyelenggaraan pemerintahan akan berjalan efektif selama sistem yang dibangun teraplikasikan secara baik tanpa memerlukan keberadaan lembaga penasehat. Terlebih pasca DPA ditiadakan, penyelenggaraan negara tetap berjalan secara normal. Hal tersebut menunjukkan, bahwa keberadaan Dewan Pertimbangan Presiden tidak bermanfaat dalam penyelenggaraan Negara.

Meskipun Pemerintah menilai masih diperlukannya Dewan Pertimbangan Presiden ataupun DPA diharapkan Dewan Pertimbangan Presiden ataupun Dewan Pertibangan Agung nantinya agar lebih aktif dalam memberikan nasihat dan pertimbangan, mengingat lembaga kepenasihatan semacam ini pernah dihapuskan dan dimunculkan kembali di dalam perjalanan konstitusi Negara Indonesia, sehingga apa yang menjadi tugas dan kewajiban Presiden dapat terbantu dengan keberadaan dari Dewan Pertimbangan Presiden. Terkait nasihat dan pertimbanagn yang diberikan kepada Presiden sebaiknya tidak dirahasiakan agar dapat diketahui. sehingga Dewan Pertimbangan Presiden tidak dianggap sebagai akomodasi politik belaka. Selain Nasihat Dewan Pertimbangan seharusnya memiliki daya ikat yang cukup kuat seperti melaksanakan tugas fungsi turun dan mendengar keluhan masyarakat serta para tokoh keagamaan, tokoh kepemudaan untuk mengerti dinamika permasalahan yang ada selain memberikan nasehat yang dapat mempengaruhi kebijakan Presiden dalam menjalankan ketatanegaraan Indonesia.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00