Oleh : Ardan Men
Indonesia, yang terletak di cincin api Pasifik, telah lama dikenal sebagai wilayah yang rawan gempa bumi. Sejarah mencatat sejumlah gempa besar yang merenggut banyak nyawa dan menyebabkan kerusakan infrastruktur yang luas. Namun, meski upaya mitigasi telah dilakukan, pertanyaan yang sering muncul adalah: sudah siapkah kita menghadapi gempa besar berikutnya?
Mungkin beberapa dari kita istilah Megathrust masih terdengar asing bagi telinga masyarakat akan tetapi fenomena ini tidak bisa di anggap remeh, seperti contoh kasus yang tejadi pada tsunami aceh tahun 2004 silam, tsunami ini termasuk salah satu dampak yang disebabkan dari megathrust ini, fenomena ini terjadi dikarenakan, Lempeng Indo-Australia bergerak ke arah utara dan menyusup di bawah Lempeng Eurasia pada zona subduksi di sepanjang Patahan Sunda, Titik pusat gempa berada di dasar laut sekitar 160 kilometer di lepas pantai barat Sumatra pada kedalaman sekitar 30 kilometer. Akibatnya terjadi gempa bumi dengan kekuatan 9,1-9,3 skala richer setara dengan ledakan 1500 kali dari bom atom yang membumi hanguskan hirosima pada perang dunia II silam dan juga dilanjutkan dengan terbentuknya gelombang air sebesar seperempat monas dan secepat 800 km/jam atau secepat dari perjalanan mobil jakarta bandung dengan waktu sekitar 11-12 menit
Dari bentuk dinamika yang telah menjadi takdir indonesia, gempa bisa terjadi kapan saja. Dikarenakan Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng tektonik besar: Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami ribuan gempa bumi setiap tahunnya, dengan beberapa di antaranya berpotensi merusak. Salah satu wilayah yang paling rentan adalah Pulau Sumatra, khususnya daerah di sekitar patahan Semangko dan zona subduksi di sepanjang pantai barat. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh para ahli seismologi juga menunjukkan bahwa ada potensi gempa besar dengan magnitudo di atas 8.0 di beberapa wilayah, termasuk di wilayah Megathrust di Sumatra dan Jawa. Potensi ini sangat mengkhawatirkan mengingat tingginya populasi yang tinggal di daerah-daerah tersebut. dengan dari semua takdir ini bisakah kita hidup dengan aman dan damai?
Salah satu langkah penting yang harus diambil adalah penguatan infrastruktur, terutama di daerah-daerah yang rawan gempa. Ini termasuk membangun bangunan yang tahan gempa, memperbarui struktur bangunan yang sudah ada, dan memastikan bahwa fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, dan jembatan dibangun sesuai dengan standar tahan gempa. Pemerintah harus memberikan insentif bagi pengembang untuk menerapkan teknologi konstruksi yang lebih aman dan memperketat regulasi bangunan di daerah rawan, jika kita bandingkan dengan jepang sebagai negara yang juga terjadi banyak gempa, pemerintahnya menerapkan aturan tentang pembuatan rumah dan gedung yang tahan gempa, bangunan gedung harus dilengkapi dengan isolasi seismik dan dampers, suatu bantalan fleksibel yang dipasang pada pondasi bangunan dan struktur bangunan diatasnya berfungsi seperti shockbreaker pada kendaraan, menyerap goyangan dan getaran dari tanah pada sekitar bangunan, teknologi ini telah terbukti bisa menahan getaran gempa hingga 8.0 skala richer dan telah diaplikasian pada 20-25% dari seluruh bangunan penting seperti gedung gedung tinggi, rumah sakit, sekolah dan infrasturktur kritis negara seperti pusat data dan bangunan penyedia kebutuhan negara seperti pembangkit listrik dan penyedia air bersih.
Sementara infrastruktur yang kuat penting, edukasi dan kesiapsiagaan masyarakat juga tidak kalah penting. Pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan sebelum, selama, dan setelah gempa bumi harus disebarkan secara luas. Program simulasi gempa yang melibatkan masyarakat, termasuk anak-anak di sekolah, perlu ditingkatkan. Edukasi ini harus mencakup penggunaan teknologi sederhana seperti sirine peringatan dini dan aplikasi ponsel yang bisa memberikan informasi real-time terkait gempa. Di Indonesia, pendidikan bencana masih menjadi tantangan, terutama di daerah-daerah yang terpencil atau kurang berkembang. Setelah tsunami 2004, upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan bencana telah ditingkatkan, tetapi masih banyak daerah yang kurang siap. Latihan evakuasi dan pendidikan tentang bagaimana menghadapi gempa dan tsunami masih belum merata di seluruh negara. jika di bandingkan dengan jepang, pemerintahannya telah menetapkan tanggal 1 september sebagai hari pencegahan bencana (Bōsai no hi). pada hari tersebut pemerintahan jepang mengisyaratkan kepada sekolah, instansi negara dan perusahaan selama satu pekan untuk melakukan festival pencegahan bencana yang dimana pada event ini terdapat latihan evakuasi yang mengedukasi bukan hanya anak anak tetapi orang dewasa pun juga dapat merasakan event ini yang bertujuan untuk memperdalam dengan suasana yang menyenangkan sehingga dapat diserap oleh semua kalangan. Berkat adanya event ini masyarakat jepang memiliki suatu perkembangan budaya baru yang dikaitkan dengan istilah “Sonae areba urei nashi” yang berarti yang berarti ‘Jika kamu telah bersiap-siap sebelumnya, kamu tidak perlu khawatir meskipun terjadi sesuatu’ yang membuat ketenangan orang Jepang dalam keadaan darurat.
Indonesia telah mengembangkan sistem peringatan dini tsunami yang cukup canggih. Namun, sistem peringatan dini untuk gempa bumi harus terus ditingkatkan. Sedihnya ditengah proses peningkatan sistem ini, masih banyak terjadi kasus pencurian alat seismograf yang terjadi di indonesia, dimana alat ini berfungsi sebagai pendeteksi dan memperkirakan kapan terjadinya gempa dan erupsi gunung berapi. Sejatinya alat ini berperan sebagai ujung tombak masyarakat dalam peringatan bencana. Berkat adanya kasus tersebut sistem mitigasi bencana di indonesia menjadi terganggu yang dimana sistem peringatan dini bencana nya masih perlu evaluasi di berbagai aspek. Dari sini bisa kita rasakan dengan jelas bahwa masyarakat indonesia masih memerlukan suatu revolusi mental yang bertujuan untuk menghilangkan tradisi mental mencuri akan tetapi mental ini terwujud dikarenakan faktor ekonomi yang lemah mendorong masyarakat untuk melanggar hukum, salah satunya pencurian alat deteksi bencana. Maka pemerintah perlu bertindak tegas agar kasus seperti ini tidak terulang kembali. ternyata orang Indonesia juga melestarikan mental maling. Misalnya, kasus penjarahan truk bawang merah yang terjadi di Ponorogo saat Kirab Budaya. Alih-alih menolong supir, masyarakat setempat ramai-ramai menjarah bawang merah yang tercecer di jalan. Dan masih banyak contoh lain yang membuktikan orang Indonesia menyimpan mental kleptomania.
Meskipun gempa bumi besar tidak dapat diprediksi dengan tepat kapan dan di mana akan terjadi, persiapan yang matang dan terpadu dapat mengurangi dampak bencana tersebut. Indonesia sebagai negara yang rentan gempa harus memperkuat upaya mitigasi dengan pendekatan yang komprehensif, melibatkan penguatan infrastruktur, edukasi masyarakat, peningkatan sistem peringatan dini, dan perencanaan evakuasi yang efektif. Kita semua memiliki peran dalam menghadapi ancaman gempa besar ini. Mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat, semua harus bahu-membahu membangun ketahanan yang kuat. Kita dapat mengarahkan kiblat pada negara jepang terhadap penanggulangan bencana yang telah mereka lakukan, Jangan sampai kita terkejut dan tidak siap ketika bencana itu datang. Sudah saatnya kita mengambil tindakan nyata agar Indonesia lebih tangguh menghadapi gempa besar yang mungkin akan terjadi di masa depan. Waspadalah, dan persiapkan diri sejak dini.