Upaya penyebaran ajaran agama pada dasarnya merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan umat beragama. Dalam ajaran agama Islam, hal ini disebut dengan dakwah, hal ini merupakan suatu kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada setiap pemeluknya.
Peradaban masa kini lazim disebut peradaban masyarakat informasi, dimana informasi menjadi salah satu komoditi primer dan bahkan dapat menjadi sumber kekuasaan karena dengan informasi, pendapat umum (public opinion) dapat dibentuk untuk mempengaruhi serta mengendalikan pikiran,sikap, perilaku, orang lain. Ini sebabnya dakwah sebagai salah satu media penyampaian informasi tentang ajaran agama harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan yang memadai berkaitan dengan ilmu agama.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendakwah adalah orang yang menyiarkan (menyampaikan) ajaran agama Islam. Pendakwah menyampaikan ajaran agamanya berdasarkan apa yang telah dipelajari dan didapat selama proses belajarnya. Kedudukan mubalig dalam dakwah sangat strategis dan dapat menentukan arah pemahaman keagamaan yang disampaikan.
Meskipun pemerintah memberikan hak kebebasan berpendapat namun dalam berdakwah, terdapat batasan berpendapatnya yang diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 28j, dan Undang-Undang Nommor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum, agar tidak terjadi provokator, menebar ujar kebencian, dan lain sebagainya sehingga menimbulkannya perpecahan umat.
Sertifikasi pendakwah di Indonesia tentu menimbulkan pro-kontra dikalangan masyarakat. Yang pro mereka berpendapat bahwa hal ini merupakan langkah awal yang bagus untuk meminimalisir pendakwah-pendakwah yang tidak kompeten dalam menguasai ilmu agama, sedangkan yang kontra menilai bahwa pemerintah terlalu jauh menginterversi persoalan agama, dan hanya agama Islam yang dijadikan subtansi sertifikasi pendakwah ini tidak dengan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Sertifikasi pendakwah ini dikeluarkan secara sepihak dan terlalu dipaksakan.
Wacana Sertifikasi Pernah Muncul sebelum Viralnya Pendakwah dengan Penjual Es Teh.
Rencana Sertifikasi tidak saja muncul pasca Permasalahan Gus Miftah dengan Penjual Es Pada 4 Desember 2024, Rencana Sertifikasi Pendakwah atau Ulama pernah Muncul Pada Momentum Pilkada yang disebabkan perbedaan politik. Pada Tahun 2020 Majelis Ulama Indonesia melalui Pernyataaan Sikap MUI Nomor Kep-1626/DP MUI/IX/2020 bahwa Sehubungan dengan rencana program Sertifikasi Da’i/Muballigh dan/atau program Da’i/Muballigh Bersertifikat oleh Kementerian Agama sebagaimana disampaikan oleh Menteri Agama dan pejabat Kementerian Agama melalui media massa, maka Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia sesuai dengan keputusan Rapat Pimpinan MUI pada hari Selasa, 08 September 2020 M/20 Muharram 1442 H, dengan bertawakkal kepada Allah SWT menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
- Rencana sertifikasi Da’i/Muballigh dan/atau program Da’i/Muballigh bersertifikat sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Agama telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman dan kekhawatiran akan adanya intervensi Pemerintah pada aspek keagamaan yang dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengontrol kehidupan keagamaan. Oleh karena itu MUI menolak rencana program tersebut.
- MUI dapat memahami pentingnya program peningkatan kompetensi (upgrading) Da’i/Muballigh sebagai upaya untuk meningkatkan wawasan Da’i/Muballigh terhadap materi dakwah/tabligh, terutama materi keagamaan kontemporer seperti ekonomi Syariah, bahan produk halal, wawasan kebangsaan, dsb. Namun program tersebut diserahkan sepenuhnya kepada ormas/kelembagaan Islam termasuk MUI dan pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk itu.
- Menghimbau kepada semua pihak agar tidak mudah mengaitkan masalah radikalisme dengan ulama, dai/muballigh dan hafizh serta tampilan fisik (performance) mereka, termasuk yang lantang menyuarakan amar makruf nahi munkar bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian pernyataan ini disampaikan agar dapat diketahui dan dipahami dengan baik oleh semua pihak
Pada 20 November 2019 Silam Ketua Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) bidang Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Maria Ulfah Anshor pernah menyikapi rencana Sertifikasi Ulama menganggap program sertifikasi ulama sebagai langkah yang kurang tepat. Kalau persoalannya adalah pada dai, mungkin yang lebih pas menurut saya bukan sertifikasi dai atau ulama, tapi penguatan kapasitas, lemahnya pemahaman agama sejumlah penceramah yang tak jarang berujung pada aksi saling menyalahkan di antara mereka. Yang tidak boleh adalah menyesatkan pandangan kelompok lain, atau bahkan berbeda pandangan, kemudian seolah-olah yang pandangannya berbeda dengan dia (itu) salah, dan dia merasa yang paling benar, itu yang sebenarnya berbahaya, melalui sertifikasi, dampak itu jugalah yang dikhawatirkan justru akan terjadi. Jangan-jangan nanti setelah disertifikasi, lalu dia merasa semuanya dia yang paling benar, yang lain salah. Itu makin berbahaya menurut saya.
Wacama Sertifikasi Muncul kembali dari Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq mengakatan bahwa Kementerian Agama perlu melakukan sertifikasi juru dakwah, Perlu ada kontrol yang baik dari masyarakat itu sendiri, termasuk juga dari Kementerian Agama di daerah terkait dan teguran bagi yang melanggar etika, melanggar tata kesopanan publik, dan melanggar keadaban publik, hal tersebut disampaikan guna menanggapi video viral yang memuat ucapan dai pendakwah sekaligus Utusan Khusus Presiden untuk Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagmaan Miftah Maulana / Gus Miftah yang dinilai sebagian besar masyarakat telah melecehkan seorang warga penjual es teh. (4/12).
Pandangan berbeda dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir terkait Sertifikasi bagi pendakwah ataupun ulama mengatakan bahwa soal perlu tidaknya sertifikasi bagi pendakwah perlu melalui kajian yang sangat matang, bahkan sebaiknya tidak, jangan sampai hanya karena satu atau dua kasus pemerintah mengambil keputusan tanpa adanya kajian yang matang kami berharap bahwa agama bisa menjadi suluh kehidupan bukan menjadi entertainment dalam kehidupan kita. (9/12).
Pemerintah Pusat melalui Menteri Agama RI Nasaruddin Umur menanggapi opsi agar para juru dakwah harus bersertifikat yang menyatakan bahwa Kemenag sedang melakukan kajian dalam waktu dekat ini (9/12).
Pembahasan
Pendakwah adalah orang yang mengajak kepada orang lain baik secara langsung atau tidak langsung, melalui lisan, tulisan atau perbuatan untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam atau menyebarluaskan ajaran Islam, melakukan upaya perubahan kearah kondisi yang lebih baik menurut ajaran Islam.
Dalam prespektif sosiologi pendakwah merupakan pemimpin agama yang memiliki peran di masyarakat. Pertama pendakwah sebagai pembimbing moral, ia bertugas sebagai peletak dasar moral, etis, dan spiritual masyarakat. Kedua sebagai motivator dalam pengembangan dan pembangunan masyarakat. Dengan kharisma dan keterampilan yang dimilikinya para pendakwah memiliki peran aktif dalam mendorong susksesnya kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat. Ketiga, pendakwah sebagai mediator artinya seoarang da’i juga sebagai wakil masyarakat dan sebagai pengantar dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingan di masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan yang ada.
Sertifikasi merupakan suatu usaha pemerintah untuk dapat meningkatkan mutu atau juga uji kompetensi tenaga pendidik didalam mekanisme teknis yang sudah diatur oleh pemerintah melalui suatu Dinas Pendidikan maupun juga Kebudayaan di tempat yang sudah bekerja sama dengan instansi pendidikan tinggi yang mempunyai kompeten yang pada akhirnya akan diberikan sertifikat pendidik kepada pendakwah yang sudah dinyatakan standar keprofesionalannya.
Sementara Pengertian sertifikasi menurut Mulyasa adalah proses uji kompetensi yang telah dibuat untuk mengungkapkan kekuasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik.
Sertifikasi Pendakwah ditinjau dari UU Nomor 9 Tahun 1998, Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara yuridis, regulasi ini dirancang untuk melindungi hak-hak warga negara Indonesia untuk bebas menyampaikan pendapat. Setiap individu mungkin memiliki tujuan yang berbeda dalam menyampaikan aspirasinya. Entah itu menyampaikan keinginan, memberi kritik dan saran, memberi semangat, menyampaikan ide atau inovasi, mengusulkan solusi atas suatu masalah, atau bahkan sebagai alat komunikasi sebagai sarana mempererat diri orang lain.
Mengingat pentingnya kemerdekaan menyampaikan pendapat ini dan trauma masyarakat terhadap sejarah Indonesia pada saat itu dalam hal menyampaikan pendapat, maka saat ini kemerdekaan menyampaikan pendapat dijamin dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat tiga regulasi yang mendukung kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat ini, yaitu UUD NKRI 1945, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat memiliki beberapa fungsi. Selain itu, hal ini juga merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Fungsi kemerdekaan menyampaikan pendapat sangat penting. Namun, penyampaian pendapat juga dapat membawa perpecahan apabila tidak terdapat aturan dalam menyampaikan pendapat itu. Mengingat hal tersebut, Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat dimuka umum mengatur tentang hak dan kewajiban warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Dalam undang-undang ini, diatur pula bentuk-bentuk dan tata cara penyampaian pendapat di muka umum. Bentuk penyampaian pendapat pun berbagai macam, yakni unjuk rasa, pawai, rapat umum, pawai, dan mimbar bebas. Aturan-aturan kebebasan berpendapat telah dilindungi oleh undang-undang. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah serius dalam menangani permasalahan yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat. Keterkaitan UU tersebut dengan sertifikasi pendakwah adalah tetap adanya koridor atau batasan bagi pendakwah Indonesia dalam berdakwah.
Rencana Sertifikasi Pendakwah sendiri dapat dilihat secara positif dan negatif, keberagaman budaya dan wilayah di Indonesia menyulitkan pihak yang berwenang untuk menentukan suatu kesatuan dan kebijakan yang baku, terlebih Islam di Indonesia memang sangat beragam, dalam artian masing-masing dari oenganut agama Islam ini memiliki budaya dan sejarah yang juga beragam.
Jika dilihat dari hal positif, sertifikasi dakwah merupakan upaya pemertintah dalam membina para da’i di Indonesia, namun hal ini terkesan pemerintah mengawasi pada da’i sehingga para da’i merasa seperti dikontrol dan diawasi oleh pemerintah, hal ini juga menandakan bahwa tidak ada kepercayaan di antara dua belah pihak.
Program sertifikasi merupakan gagasan yang inovatif dan cemerlang, hanya saja melihat kondisi dan relasi yang baik antara pemerintah dengan para da’i ada baiknya jika sertfikasi pendakwah dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) dan pemerintah sebagai koordinatornya. Sehingga, para da’i tidak akan merasa dikontrol oleh pemerintah namun tetap berdasarkan kaidah-kaidah yang memang sesuai dengan ajaran Islam dan Indonesia, dalam hal ini fokusnya adalah untuk memerangi radikalisme.
Penutup
Dengan munculnya rencana Sertifikasi Pendakwah dapat memunculkan perspektif Pemerintah membatasi dakwah yang tidak selayaknya dibatasi melalui sertifikasi pendakwah.
Namun demikian dilain sisi sertifikasi merupakan hal yang umum dilakukan khususnya di dunia profesi dan pendidikan seperti guru, dosen. Sertifikasi diperlukan agar meningkatkan kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi penceramah baik dari aspek materi maupun metodologi, sehingga penceramah pendakwah yang memiliki sertifikat akan lebih bertanggung jawab secara keilmuan dan untuk menjaga etika.
Jika sertifikasi hanya untuk referensi masyarakat sebaiknya sertifikasi pendakwah bersifat sukarela karena melaksanakan dakwah itu hakikatnya menjadi hak dan kewajiban setiap orang yang menjadi perintah agama.
Sedangkan jika sertifikasi dinilai wajib dikhawatirkan muncul opini penilaian masyarakat atas intervensi atau pembatasan oleh pemerintah, jika memang wacana aturan sertifikasi direalisasi pemerintah, disarankan perlu adanya kajian mendalam dengan adanya keterlibatan organisasi masyarakat keagamaan Islam seperti MUI DMI, Muhammadiyah, Nadhatul Ulama dan lainnya guna melaksanakan Aturan Ketentuan Sertifikasi Pendakwah.
Ditinjau dari hukum positif, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 dapat dikatakan bahwa sertifikasi pendakwah bukanlah sebuah pembatasan untuk menyampaikan pendapat, karena pendakwah tetap leluasa dalam menyampaikan ajaran Islam melalui ceramah hanya saja memang harus dibatasi oleh aturan dan hak orang lain agar tidak sewenang-wenang.
Namun demikian tetap perlu adanya pengawasan dan kontrol melekat dari Organisasi-Organisasi Islam maupun Instansi Pemerintah selaku kordinator melalui Kementerian Agama berserta instansi dibawah Kemenag RI dalam rangka mengkontrol serta program peningkatan pemahaman ilmu dakwah.