Memahami Jabatan Gubernur, Bupati, Walikota di Indonesia: antara Otonomi Daerah atau Negara Kesatuan?

by admin
0 comment

Oleh: B. Y. B. Hasan

20 Februari 2025, pelantikan Kepala Daerah terpilih telah berlangsung dan secara khusus untuk pertama kalinya dilakukan langsung oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. Sebagai pembuka marilah kita mengucapkan “Selamat dan Sukses atas pelantikan para Kepala Daerah terpilih di seluruh wilayah Republik Indonesia. Semoga menjadi pemimpin yang adil, bijaksana, dan dicintai masyarakat. Selamat Bertugas!”

  • Latar belakang kekuasaan pemerintahan

Dewasa ini, cukup menarik ketika kita melihat fenomena pelantikan kepala daerah di Indonesia, karena sebelumnya Presiden hanya melantik para gubernur dan wakil gubernur di Istana Negara, sedangkan bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota dilantik oleh gubernur di ibukota provinsi masing-masing. Setelah proses pelantikan, tiap-tiap kepala daerah tersebut mengikuti rangkaian kegiatan retreat yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri. Maka dapatlah apabila dikatakan agenda itu adalah untuk penyatuan visi, misi, pandangan, dan tentunya arah kebijakan dari kepala-kepala daerah sekembalinya ke wilayah pengabdian masing-masing.

Hal ini sesuai dengan wewenang kekuasaan penuh pemerintahan yang dikendalikan oleh Kepala Pemerintahan yakni Presiden, sesuai Pasal 4 UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.

  • Penyelenggaraan pemerintahan daerah

Menanggapi fenomena baru di Indonesia tersebut, tentu selayaknya kita mengingat kembali staats fundamental norm serta ketentuan peraturan perundang-undangan di negara kita tercinta. Bagaimana kewenangan otonom yang dimiliki kepala-kepala daerah terpilih untuk mengelola daerah otonomnya, terlebih dengan legitimasi yang sangat sulit untuk digoyahkan karena mereka adalah orang nomor satu di wilayahnya masing-masing.

Menilik kembali UUD NRI 1945 Pasal 18, dalam Ayat (1) dinyatakan secara tersurat, bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya Ayat (2) menjelaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU Pemda), secara jelas dinyatakan bahwa gubernur, bupati, dan walikota adalah wakil pemerintah pusat yang diberikan sebagian urusan pemerintah pusat serta sebagai penanggung jawab urusan-urusan pemerintahan umum. Kemudian, apa sajakah kewenangan pemerintah pusat yang tidak diberikan kepada pemerintah daerah? Yakni hal-hal yang berkaitan dengan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan lain sebagainya.

Masih dalam UU yang sama pula dijelaskan bahwa pemerintah daerah dipimpin oleh kepala daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari kompleksitas yang ada, bagaimana kita memaknai norma otonomi seluas-luasnya tersebut?

  • Memaknai Otonomi dan Demokrasi

Otonomi, berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti hukum. Maka, dapat diartikan sebagai sebuah kewenangan untuk memiliki hukum/aturan sendiri atau ringkasnya pemerintahan sendiri. Sejarah ini lahir pada masa Reformasi, setelah Orde Baru jatuh, rakyat melakukan gerakan yang penulis sebut sebagai The Indonesia Spring. Gerakan rakyat yang memperjuangkan sebuah sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis, adanya supremasi hukum, keadilan sosial, serta amandemen konstitusi, dan tentunya otonomi daerah.

Otonomi daerah tersebut diwujudkan dalam kerangka demokrasi, sehingga rakyat dapat memilih langsung pemimpinnya melalui sebuah pemilihan umum, dengan harapan bahwa pemimpin daerah tersebut adalah semata-mata untuk melaksanakan kepentingan rakyatnya, daerahnya, dan untuk kesejahteraan seluruh entitas yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, kepala-kepala daerah memiliki tugas dan tanggung jawab kepada masyarakat di wilayahnya yang telah memilih dirinya menjadi seorang kepala daerah, baik dalam cakupan wilayah provinsi, kabupaten, dan kota.

  • Kepala Daerah atau Gubernur, Bupati, dan Walikota

Hukum adalah apa yang hidup di masyarakat dan berjalan beriringan dengan perkembangan sosial. Hukum pula adalah apa yang dibuat dan disahkan untuk menciptakan ketertiban umum, bersifat memaksa dan mengikat. Perlu disadari dalam konteks pemerintahan daerah penggunaan nomenklatur gubernur, bupati, dan walikota memiliki makna yang berbeda dengan istilah kepala daerah. Dalam peraturan perundang-undangan, tidak terdapat norma mengenai Pemilihan Kepala Daerah, melainkan yang diatur adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Hal ini disebabkan karena posisi jabatan tersebut merupakan wakil pemerintah pusat, di mana dalam hal ini undang-undang adalah produk legislasi yang dibuat di tingkat pusat.

Namun dari sudut pandang warga negara, pemimpin yang menjalankan pemerintahan di tingkat daerah adalah seorang yang bermakna kepala daerah, karena memiliki legitimasi penuh untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan. Sebagai seorang kepala daerah yang otonom, kepala daerah bertanggung jawab secara langsung kepada konstituennya.

Meskipun demikian, dalam menghadapi kondisi tersebut, kepala-kepala daerah nyatanya adalah seorang yang secara normatif disebut sebagai gubernur, bupati, dan walikota. Di mana sesungguhnya penyebutan tersebut menandakan bahwa mereka adalah para wakil-wakil pemerintah pusat yang menyelenggarakan pemerintahan di tingkat daerah, untuk hanya dapat melaksanakan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah pusat.

  • Antara Kewenangan dan Kendala Kemandirian

Sehingga kepala-kepala daerah secara sistem hukum tidak akan dapat melaksanakan otonomi yang sesuai prakarsa sendiri, melainkan hanya sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk menyukseskan program pemerintah pusat, namun disesuaikan dengan karakteristik dan kekhasan wilayah masing-masing. Oleh sebab itu, ikatan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, takkan pernah dilepaskan secara berlebihan. Karena nyatanya masih terlalu banyak pemerintah daerah yang masih bergantung kepada pemerintah pusat, terlebih dalam hal hubungan keuangan pusat dan daerah.

Lalu, bagaimana kita memaknai otonomi daerah? Bagaimana kita memaknai demokrasi melalui pemilihan langsung? Apakah kita telah memilih calon-calon pemimpin daerah kita ataukah kita hanya memilih calon-calon wakil pemerintah pusat di daerah kita? Apakah sistem ketatanegaraan kita telah dibentuk dengan format yang sesuai konstitusi itu sendiri?

  • Konstitusi adalah Ruang Lingkup Hak dan Kewajiban

Benar adanya apabila kita dikatakan telah memilih kepala-kepala daerah kita secara demokratis. Hanya sebatas itu, dan atas nama asas otonomi, mereka adalah pemimpin yang akan memimpin kita selama periode tertentu, dengan program dan kebijakan yang terbatas. Dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, para gubernur, bupati, dan walikota adalah wakil-wakil dari pemerintah pusat, untuk menyelaraskan program pemerintah pusat di daerah, bukan hanya untuk kepentingan konstituennya.

Sehingga tidak salah dan tidak keliru ketika Wakil Presiden Gibran Rakabuming, pada Rakornas Pemerintah Pusat dan Kepala Daerah serta pada salah satu pengisian materi dalam retreat di Akmil, Magelang, dengan lantang mengatakan bahwa, “tidak ada visi lain selain visi Bapak Presiden Prabowo. Tidak ada program lain selain program Bapak Presiden Prabowo. Saya ingin mempertegas pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bapak ibu yang ada di depan saya ini adalah orang-orang terpilih untuk mengelola negara sebesar Indonesia, ini kita perlu kerja sama tim, kita harus kompak, tidak ada lagi ego sektoral, forkopimda harus kompak.”

 

  • Simpulan

Kembali lagi, bahwa apakah kita butuh otonomi daerah? Apakah pemilihan langsung secara demokratis memiliki output berbeda dengan sistem penunjukan langsung oleh parlemen, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru? Apabila berbicara otonomi secara paripurna maka cenderung lebih dekat dengan sistem negara federal, namun kita sudah mengukuhkan diri dan takkan goyah dengan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara Kesatuan yang berbentuk Republik.

Apa Reformasi 1998 telah merubah sistem bernegara kita? Ditambah dengan kondisi negara yang saat ini seperti tidak ada bedanya dengan atau tanpa demokrasi. Akhirnya dapat disimpulkan bersama, bahwa sentralisasi adalah magnet utama tata kelola kenegaraan kita, yang tidak kita sadari, bahwa keotonomian tersebut bersifat semu. Hal tersebut dikuatkan dengan Pasal 37 Ayat (5) UUD NRI 1945 yang mengunci konstitusi negara kita dengan menyatakan bahwa “Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00