Terduga Teror Bom Ditangkap : Sudah Amankah Kita?

Seperti biasa, membuka bulan kemerdekaan Indonesia selalu diwarnai dengan atribut merah putih bertebaran di jalanan. Namun, kemeriahan tersebut diaduk dengan penangkapan seorang warga di Kota Batu oleh Tim Detasemen 88 Antiteror (Densus 88) pada 31 Juli 2024. Penangkapan ini berdasarkan dugaan jaringan terorisme yang motifnya melakukan aksi pengeboman di tempat ibadah. Terduga pelaku masih berumur 19 tahun, memiliki bahan peledak dan mempelajari cara membuat bom melalui media sosial. Apresiasi yang tinggi bagi aparat atas penangkapan ini. Namun, ini menjadi titik refleksi bagi semua aktor mengawali bulan kemerdekaan: sudah amankah kita?

Untuk menjawab hal itu, mari kita melihat dalam perspektif keamanan manusia. Keamanan dapat diartikan sebagai safety atau security. Hal yang membedakan yaitu safety merupakan kondisi aman dari sesuatu yang tidak dapat diprediksi sedangkan security adalah kondisi aman dari ancaman-ancaman yang dapat dicegah (tindakan preventif). Kasus penangkapan terduga teror ini merupakan sesuatu yang bisa dicegah dari meluasnya kejadian yang destruktif. Maka dari itu, keamanan bisa dipersempit dengan konsep yang mengacu pada faktor-faktor yang mendukung pencegahan dari adanya ancaman-ancaman manusia yang dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan.

Aksi tanggap yang dilakukan Densus 88 merupakan salah satu tindakan yang mengacu pada perspektif negara untuk mengamankan warga masyarakatnya. Kondisi ini dikenal dengan keamanan tradisional atau traditional security, yaitu fokus terhadap keamanan batas teritori negara serta defensif-militerisme. Pengamanan ini tentunya penting karena menggagalkan salah satu aksi terduga teror dan dapat mengembangkan penyelidikan ke jejaring terorisme lainnya, guna menghanguskan ancaman teror lainnya. Namun, kembali lagi ke pertanyaan awal, setelah sudah tertangkapnya terduga teroris dan bahkan jaringan tersebut hangus, sudah amankah kita?

Keamanan tradisional tidaklah cukup. Adanya ancaman mengenai teror menjadi sesuatu yang rentan menyebar luas akan terpaparnya radikalisme individu masyarakat di kemudian hari. Hal ini membutuhkan adanya transformasi keamanan tidak hanya bersifat pada pengamanan militerisme namun melingkupi ‘rasa aman’ sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Transformasi tersebut berubah dari keamanan tradisional menuju keamanan manusia. Keamanan manusia ini melingkupi keamanan personal, keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan hidup, keamanan komunitas, dan keamanan politik (UNDP, 1994).

Karena lingkupnya semakin besar, aktor-aktor yang berperan bukan hanya berfokus pada peran negara. Namun, diperlukan aktor lain seperti media massa, organisasi internasional, pelaku swasta, lembaga swadaya, dan lain sebagainya. Aktor-aktor ini berperan untuk menjaga keamanan baik secara individu serta sistem bernegara di lingkup nasional serta internasional. Pendekatan yang dilakukan awalnya melalui top-down bergeser ke bottom-up atau mixed method approach.

Jika ditarik kembali ke kasus terduga teror bom yang ditangkap oleh Densus 88, menimbulkan rasa aman memerlukan upaya secara komprehensif dengan mempertimbangkan keamanan manusia secara holistik. Negara sebagai aktor utama perlu untuk melakukan kerja sama secara menyeluruh kepada entitas yang bisa mempengaruhi bagaimana terorisme dapat diselesaikan sampai ke ancaman-ancaman secara laten, tidak hanya yang meluap saja. Negara bisa mengajak lembaga swadaya masyarakat dan instansi pendidikan dalam menyebarluaskan mengenai bahaya radikalisme serta pesan-pesan perdamaian yang mencakup heterogenitas suku, ras, agama, dan antargolongan. Diperlukan juga kerja sama dengan media massa terutama dalam memberitakan kasus-kasus terorisme serupa agar menggunakan tata bahasa yang tidak mencakup kekerasan atau ajakan secara tidak langsung. Media massa juga bisa berfungsi untuk menghimbau masyarakat dalam bijak memilih berita agar tidak terjebak dalam informasi kebohongan yang mengarah kepada doktrin-doktrin radikalisme yang menyebar dari media-media sosial. Dalam lingkup lebih kecil, negara dapat bekerja sama dengan komunitas-komunitas yang bergerak dalam penguatan akan kegiatan yang positif, terutama dalam menumbuhkan jiwa nasionalisme kelompoknya.

Pada akhirnya, jika kita kembali merefleksikan sudah amankah kita dari teror atas penangkapan terduga terorisme hari ini memerlukan adanya peran negara sebagai aktor utama yang lebih meluas serta masing-masing individu dalam perannya masing-masing. Keamanan manusia sebagai konsep mencoba melingkupi berbagai sisi terutama melihat terorisme merupakan ancaman yang tumbuh secara laten dan bisa meluap dalam tindakan atau aksi-aksi teror. Warna merah putih di bulan Agustus 2024 bukanlah hanya milik negara atau aparatur yang bertindak dalam memangkas aksi teror. Warna ini dapat dimaknai oleh setiap bagian dari masyarakat Indonesia dengan merefleksikan sudah seberapa berperannya masing-masing individu atau kelompok dalam mengamankan ancaman radikalisme melalui jiwa nasionalisme yang tumbuh serta melekat. Akhir kata, merdeka!

Related posts

Menilik Dampak Wacana Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) Kepada Perguruan Tinggi

Problematis Sertifikasi Pendakwah, Dilema Antara Kebebasan Beragama Dan Kualitas Dakwah

Menilik Permasalahan Tenaga Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Read More