Krisis Stabilitas Politik Indonesia Jelang Pilkada 2024 Gagalnya strategi Kotak Kosong dan penguasaan wilayah oleh KIM Plus

Oleh Yusuf S.R

Sepanjang sejarah Indonesia, di tahun 2024 kali ini tercatat sebuah sejarah baru yakni PDIP sebagai partai pemenang pemilu yang memiliki suara terbanyak di Indonesia menjadi partai oposisi dari pemerintah. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah terbayangkan akan terjadi namun harus kita terima sebagai catatan bagi demokrasi di Indonesia. Dinamika politik semakin menarik menjelang Pilkada 2024 dengan adanya pembentukan koalisi yang sangat gemuk dan disebut dengan KIM Plus atau Koalisi Indonesia Maju Plus yang berisikan Partai Gerindra, Golkar, PAN, PSI, PBB, Garuda ditambah dengan bergabungnya Koalisi Perubahan yaitu PKS, Nasdem, PKB kemudian Partai PPP, Perindo, dan Hanura dari koalisi PDIP.

Gemuknya koalisi ini sudah dapat dipastikan untuk memperkuat pengaruh politik di seluruh wilayah Indonesia dalam pemilihan kepala daerah terutama di wilayah DKI Jakarta dan beberapa wilayah yang berkaitan langsung dengan keluarga Istana seperti Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Adanya koalisi ini kemudian sebagai strategi upaya calon tunggal yang diusung KIM Plus melawan kotak kosong atau minimal menjegal ketokohan lawan politik yang memiliki elektabilitas tinggi seperti contohnya Anies Baswedan di DKI Jakarta. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra, KIM plus menyatakan bahwa  koalisi KIM Plus menargetkan upaya menguasai Jakarta dengan menghalangi langkah Anies Baswedan yang sebelumnya diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Nasdem.

Di tanggal 20 Agustus 2024 kemudian Mahkamah Konstitusi memberikan putusan penting yang memengaruhi dinamika politik dan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia. Putusan tersebut ialah gugatan terkait Pilkada 2024 dengan perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Dari putusan MK tersebut tentunya membuka angin segar bagi demokrasi Indonesia, banyak tokoh hingga partai yang non parlemen dapat ikut serta dalam pesta demokrasi Pilkada 2024. Tidak hanya itu, putusan ini juga kemudian dianggap berhasil memperbaiki citra MK yang kemudian menjadikan Kaesang sebagai putra Presiden Jokowi gagal maju di Pilkada karena tidak memenuhi persayaratan umur.

Demokrasi yang sehat tentunya memberikan kesempatan bagi semua orang untuk dipilih maupun memilih, namun pasca putusan tersebut DPR RI melakukan rapat yang kemudian memutuskan untuk menganulir putusan MK dengan dasar mengikuti putusan MA. Hal ini memicu gelombang protes yang sangat massif di media sosial hingga aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai wilayah khususnya di DKI Jakarta. Banyak tokoh publik hingga tokoh hiburan yang turun melakukan aksi dengan tujuan mengawal Keputusan MK karena yang dilakukan DPR RI dianggap telah menodai demokrasi serta konstitusi Indonesia. Hal ini juga tentunya memicu citra buruk bagi catatan sejarah kepemimpinan Presiden Jokowi yang dianggap mencoba membangun dinasti politik secara paksa dengan berupaya menjadikan Kaesang sebagai Cawagub di Pilkada Jawa Tengah.

Dalam sudut pandang ketahanan politik suatu negara tentunya hal ini merupakan suatu ancaman yang nyata bagi demokrasi serta sistem politik yang ada di Indonesia, adanya upaya mengingkari keputusan MK serta strategi dominasi dukungan partai demi menjegal lawan politik menjadikan stabilitas politik di Indonesia tidak sehat karena rakyat dipaksa menerima pilihan elit politik yang notabene demi melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu. Seperti yang dikatakan oleh  Huntington, Samuel dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century bahwa proses demokratisasi tidak selalu linear. Banyak negara yang telah mengalami transisi ke demokrasi mengalami kemunduran atau bahkan kembali ke rezim otoriter. Huntington mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberlangsungan demokrasi, seperti kekuatan ekonomi, budaya politik, dan peran militer.

Walaupun akhirnya DPR RI kemudian membatalkan upaya penistaan terhadap keputusan MK namun upaya-upaya ini tentunya memicu kekhawatiran tentang situasi politik di Indonesia yang saat ini dapat dipengaruhi oleh keputusan partai koalisi yang sangat gemuk, demokrasi melalui keterwakilan suara rakyat dikhawatirkan akan semakin tergerus dengan adanya upaya penguasaan keputusan di tingkat legislatif maupun eksekutif didominasi oleh kepentingan elit politik yang tergabung dalam koalisi. Sehingga untuk memperbaiki  situasi ini hanya memiliki satu jalan keluar yaitu dengan adanya perimbangan kekuatan antara partai pemerintah dan non pemerintah serta kesadaran para elit politik untuk tidak mempengaruhi bahkan mengintervensi lembaga-lembaga yudikatif.

Related posts

Paradoks Humanitarianisme dalam Aksi Demo: Peran NGO Asing dalam Aksi Demonstrasi yang Destruktif

Aksi Nirkekerasan: Jalan Damai dalam Menyuarakan Perubahan

Memahami Jabatan Gubernur, Bupati, Walikota di Indonesia: antara Otonomi Daerah atau Negara Kesatuan?

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Read More