Terpentalnya Anies pada Calon DKI 1 dari PDI-P, Masih Pentingkah Cakada dari Parpol?

by admin
0 comment

Oleh: Ahmad Pradipta B.A

Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Pramono Anung Wibowo dan Rano ‘Si Doel’ Karno, secara resmi mendaftarkan diri sebagai peserta Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta. Proses pendaftaran ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting PDIP, termasuk Ketua DPP PDIP dan mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atau BTP, serta Menteri Sosial Tri Rismaharini. Dengan pendaftaran ini, berakhir pula spekulasi bahwa PDIP akan mencalonkan mantan gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, sebagai cagub dengan Rano sebagai cawagub. Walaupun elektabilitas Anies tinggi dan bisa menjadi pilihan strategis bagi PDIP untuk memenangkan pemilihan di Jakarta, namun pengalaman PDIP sebelumnya membuat mereka berhati-hati dalam mengusung calon yang bukan kader partai.

Anies dikenal sebagai figur yang matang baik sebagai akademisi maupun politisi di luar partai, namun konstitusi mengharuskan adanya fungsi kaderisasi dalam politik, di mana kader partai menjadi elemen yang sangat penting. Anies, dengan posisinya yang independen, tampaknya merasa bisa menjadi pilihan bagi berbagai partai politik. Namun, pendekatan seperti ini berisiko menurunkan tingkat respek partai politik terhadapnya. Pada akhirnya, Anies perlu mempertimbangkan untuk bergabung dengan salah satu partai politik jika ingin menjaga eksistensinya di panggung politik nasional.

Dalam konteks Pilpres 2029, aturan kaderisasi diperkirakan akan menjadi lebih ketat, yang berarti partai-partai politik cenderung hanya akan mencalonkan figur yang merupakan kader internal mereka. Jika Anies tetap bersikeras berada di luar lingkup partai, peluangnya untuk tetap relevan dan maju sebagai calon presiden akan semakin mengecil. Terlebih lagi, politik Indonesia cenderung akan diisi oleh tokoh-tokoh potensial baru yang progresif dan memiliki basis massa yang setia. Anies harus menghadapi kenyataan bahwa tanpa afiliasi partai, posisinya di politik nasional mungkin akan semakin lemah, terutama dalam menghadapi kompetisi yang semakin kuat di masa mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh politik tidak hanya bergantung pada popularitas pribadi, tetapi juga pada dukungan struktural yang solid dari partai-partai besar.

 

Posisi Tawar yang Terlalu Tinggi

Partai politik di Indonesia sangat menghargai loyalitas dan kaderisasi internal, yang berarti mereka cenderung lebih memilih tokoh-tokoh dari dalam partai yang telah berkontribusi langsung dan memahami mekanisme serta struktur partai tersebut. Anies, dengan pendekatannya yang lebih independen, dapat dilihat sebagai sosok yang kurang memiliki komitmen jangka panjang terhadap partai. Ini bisa memicu kekhawatiran bahwa, jika terpilih, ia mungkin kurang terikat dengan agenda partai atau bahkan membawa kepentingannya sendiri, yang tidak selalu sejalan dengan visi jangka panjang partai.

Selain itu, posisi tawar yang terlalu tinggi bisa memberi kesan bahwa Anies lebih “diperlukan” oleh partai daripada ia “memerlukan” partai, dan ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam relasi politik. Bagi partai-partai besar, terutama yang sudah memiliki kader-kader kuat, ini bukanlah situasi ideal. Mereka ingin memastikan bahwa kandidat yang mereka usung siap untuk bekerja dalam kerangka kolektif, bukan sekadar mendompleng pada kekuatan elektabilitas tanpa jaminan loyalitas.

Akibatnya, meskipun Anies berpotensi besar secara elektoral, partai mungkin merasa enggan untuk mengusungnya karena ia tidak sepenuhnya “terikat” atau loyal pada satu platform partai tertentu. Tanpa afiliasi yang jelas, Anies juga menghadapi risiko terisolasi di antara berbagai kekuatan politik yang lebih terorganisir, terutama dengan munculnya kandidat-kandidat baru yang memiliki hubungan kuat dengan partai dan basis massa yang loyal.

Anies tak lagi memiliki peluang untuk maju pada Pilkada serentak 2024. Pun dari panggung perpolitikan. Pasalnya, Anies dinilai masih belum memiliki popularitas dan elektabilitas yang mumpuni dan merupakan figure yang terlalu percaya diri sehingga parpol enggan meliriknya. Anies lupa bahwa konfigurasi koalisi pada Pilkada serentak 2024 ini lebih banyak ditentukan oleh elite politik. Elite politik sudah jengah karena posisi tawar Anies terlalu tinggi. Anies memang kerap memanfaatkan momentum parpol hanya untuk dikendarai. Anies gampang berpindah-pindah dari parpol satu ke parpol lainnya. Hal itulah yang membuat para parpol enggan untuk mengusungnya di kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2024. Kendati demikian, nama Anies tidak akan redup dan Anies bisa memanfaatkan partai-partai kecil untuk dikonsolidasikan menjadi sebuah poros baru. Selain menjadi poros baru, bukan tidak mungkin bisa membuat partai baru.

Masih Perlukah Cakada dari Parpol?

Eksistensi partai politik (parpol) merupakan sebuah keniscayaan menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia. Parpol diharapkan dapat menjadi wadah bagi aspirasi dan kepentingan rakyat. Awalnya, parpol hanya berperan sebagai perantara antara masyarakat dan pengambil keputusan. Namun, seiring waktu, parpol mulai dianggap sebagai sarana yang cukup representatif dalam proses pengambilan kebijakan publik. Berbagai upaya dilakukan parpol untuk memenangkan hati rakyat dalam pemilu, termasuk pendekatan mobilisasi massa, partisipasi yang minim, politik uang, atau memaksimalkan peran kader-kader partai, agar fungsi parpol berjalan sesuai dengan substansinya sebagai ‘kendaraan’ politik yang efektif dan efisien.

Dalam konteks politik di Indonesia, masih relevan untuk mempertanyakan apakah calon-calon kepala daerah harus berasal dari partai politik, atau apakah figur independen dapat memberikan kontribusi yang lebih baik. Partai politik memainkan peran penting dalam demokrasi karena mereka menyediakan infrastruktur politik yang mapan, mendukung kaderisasi, dan memastikan keberlanjutan program-program pemerintahan. Partai-partai juga menyediakan basis massa yang setia, memiliki mekanisme internal untuk mengembangkan kader, serta menyediakan dukungan logistik dan finansial yang diperlukan selama pemilu.

Calon dari partai politik biasanya lebih dapat diandalkan untuk menjalankan pemerintahan dengan stabil. Mereka memiliki jaringan dengan pemerintah pusat dan DPRD yang memungkinkan koordinasi lebih lancar. Di banyak daerah, stabilitas ini sangat penting, terutama untuk proyek-proyek jangka panjang dan kerja sama antara pemerintah daerah dan nasional. Sebagai contoh, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, sebagai bagian dari PDIP, memiliki dukungan kuat dari partainya, yang mempermudah implementasi berbagai program dan kebijakan pembangunan, serta memastikan hubungan yang baik dengan pemerintah pusat.

Partai politik juga penting untuk kaderisasi dan pengembangan pemimpin baru. Dengan adanya jalur kaderisasi, partai menciptakan pemimpin-pemimpin daerah yang tidak hanya memahami kebijakan tetapi juga memiliki pengalaman di dalam birokrasi dan politik nasional. Partai memastikan calon memiliki latar belakang yang kuat sebelum mencalonkan diri.

Namun disisi lain, calon independen juga memiliki daya tarik tersendiri. Mereka cenderung dianggap lebih murni, bebas dari kepentingan politik jangka panjang atau kepentingan kelompok dalam partai, dan lebih fokus pada kepentingan rakyat. Calon independen seringkali dapat memanfaatkan citra “bersih” dari korupsi politik dan dapat membentuk kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal. Namun, seorang kepala daerah independen seringkali menghadapi tantangan besar ketika berhadapan dengan legislatif yang dikuasai oleh partai-partai politik. Tanpa dukungan partai, sering kali terjadi kebuntuan dalam pengesahan anggaran atau kebijakan, karena calon independen tidak memiliki “daya tawar” politik yang sama dengan calon dari partai besar. Hal ini bisa menghambat program-program yang dia rencanakan, terutama jika parlemen daerah (DPRD) tidak bersahabat.

Pendekatan teori strategi positioning dalam konteks politik dapat memberikan wawasan yang lebih dalam mengenai dinamika pemilihan kepala daerah. Menurut Firmanzah (2008), Strategi positioning politik merupakan yang harus dilakukan organisasi politik, Pertama, strategi ini akan membantu pemilih dalam menentukan siapa yang akan dipilih. Kejelasan positioning politik akan memudahkan pemilih dalam mengindentifikasi suatu politik dan memudahkan pemilih dalam mengindentifikasi suatu parpol, sekaligus membedakannya dengan organisasi politik lainnya. Kedua, positioning politik jelas membantu anggota parpol itu sendiri dalam membentuk identitas mereka. Ketiga, membantu penyusunan strategi dalam approach (pendekatan) ke masyarakat. Keempat, membantu mengarahkan jenis sumber daya politik apa yang dibutuhkan masyarakat.

Calon dari partai politik biasanya memiliki posisi yang lebih stabil karena mereka mendapat dukungan dari partai yang memiliki brand yang kuat dan basis massa yang besar (Nursal, 2004). Partai politik itu sendiri memiliki brand positioning di mata publik yang menentukan bagaimana calon mereka dipersepsikan. Seorang calon yang didukung oleh partai besar seperti PDIP atau Golkar, misalnya, dapat memanfaatkan brand partai untuk menempatkan dirinya sebagai sosok yang stabil, terhubung dengan jaringan nasional, dan didukung oleh struktur yang kuat.

Namun disisi lain, dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, persaingan positioning menjadi sangat penting. Calon dari partai politik harus bersaing dengan citra partai mereka dan kadang-kadang harus menghadapi persepsi negatif publik terhadap partai politik secara keseluruhan. Mereka harus mampu memposisikan diri tidak hanya sebagai representasi partai, tetapi juga sebagai figur yang memiliki nilai tambah atau keunikan tersendiri dibandingkan calon lain.

Diferensiasi merupakan inti dari strategi positioning. Calon dari partai politik memiliki keunggulan dalam hal akses ke sumber daya, jaringan, dan stabilitas, tetapi seringkali menghadapi tantangan dalam hal persepsi publik tentang “keterikatan” mereka pada kepentingan partai. Keunggulan kompetitif mereka berakar pada dukungan struktural dan logistik, namun kelemahannya adalah persepsi bahwa mereka mungkin lebih mementingkan partai daripada masyarakat.

Penutup

Meskipun calon independen dapat memberikan alternatif yang segar dan berorientasi pada rakyat, partai politik tetap memainkan peran yang sangat penting dalam stabilitas, keberlanjutan, dan efektivitas pemerintahan di tingkat daerah. Tantangan utama bagi calon independen adalah kurangnya dukungan struktural dan kesulitan dalam bekerja dengan legislatif daerah. Oleh karena itu, dalam banyak kasus, calon dari partai politik cenderung lebih siap secara politik dan administratif untuk memimpin daerah, tetapi tidak menutup kemungkinan calon independen yang kuat dapat sukses jika mereka mampu membangun hubungan yang baik dengan berbagai pemangku kepentingan. Bagi calon dari partai politik, keberhasilan terletak pada kemampuan untuk memanfaatkan jaringan dan sumber daya partai tanpa terlihat terikat secara berlebihan pada agenda partai. Sementara itu, calon independen perlu memposisikan diri sebagai alternatif yang kuat dan mampu membuktikan bahwa mereka bisa berfungsi efektif tanpa dukungan partai besar. Namun hal tersebut sangatlah sulit apabila melihat konteks social politik di Indonesia.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00