Oleh: Ayu Nikki A.
Di era digital yang semakin kompleks, ancaman terhadap keamanan nasional telah berevolusi melampaui konflik fisik konvensional. Serangan siber kini menjadi realitas yang mengancam kedaulatan, integritas data, dan stabilitas negara. Hal ini pula yang membuat Dinamika Keamanan siber kini menjadi bagian tak terpisahkan dari percaturan pertahanan nasional. Adu strategi serta tarik ulur kepentingan mewarnai wacana pembentukan Angkatan Siber di bawah naungan TNI. Tak heran, jika diskursus ini memunculkan pro dan kontra yang tak kalah sengitnya dengan drama politik di tanah air.
Secara realita, tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini lanskap ancaman keamanan nasional telah bergeser. Bukan lagi sekadar urusan tank dan pesawat tempur, tapi juga bit dan byte yang mengalir di dunia maya. Hal inilah yang kemudian mendasari wacana pembentukan Angkatan siber di bawah naungan TNI, sebagai bentuk kesadaran akan meningkatnya ancaman siber terhadap keamanan nasional. Urgensi pembentukan Angkatan siber ini menjadi wajar jika dikaitkan dengan teori Realisme dalam politik internasional yang dikembangkan oleh Hans J Morgenthau (1948), bahwa setiap negara harus memiliki kapabilitas untuk melindungi kepentingan nasionalnya[1]. Dalam konteks ini, tidak dapat dipungkiri bahwa domain siber telah menjadi “medan perang” baru yang memerlukan pendekatan dan strategi khusus. Senada dengan hal tersebut, Joseph Nye (2010) dalam karyanya “Cyber Power” menegaskan bahwa kekuatan siber telah menjadi elemen penting dalam hubungan internasional kontemporer[2]. Nye berpendapat bahwa negara-negara perlu mengembangkan kapabilitas ofensif dan defensif di ranah siber untuk mempertahankan kepentingan nasional mereka.
Menyikapi perubahan spektrum ancaman pertahanan keamanan ini, beberapa negara bahkan telah membentuk unit khusus untuk pertahanan siber dalam struktur militer mereka. Amerika Serikat membentuk US Cyber Command (USCYBERCOM) di bawah koordinasi Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Inggris memiliki The National Cyber Force (NFC) di bawah naungan Kementerian Pertahanan Inggris. Prancis membentuk Commandement de la Cyberdéfense di bawah koordinasi Kementerian Angkatan Bersenjata Prancis. China memiliki PLA Strategic Support Force yang dikomandoi Angkatan Darat Tiongkok. Rusia membentuk Armed Forces of the Russian Federation’s Information Operation Troops di bawah Kementerian Pertahanan Rusia. Israel memiliki Unit 8200 yang merupakan bagian dari Israel Defense Forces. Negara tetangga, Singapura, memiliki Digital and Intelligence Services (DIS) yang bekerja di bawah Angkatan Bersenjata Singapura. Meskipun struktur dan fungsinya bervariasi, pembentukan unit-unit ini mencerminkan pengakuan global akan pentingnya domain siber dalam strategi pertahanan nasional.
Jika menilik keadaan di dalam negeri, maka tidak dapat dipungkiri bahwa serangan siber juga menjadi bahaya laten dan bahkan ancaman nyata terhadap kedaulatan siber nasional. Kasus kebocoran data NPWP pejabat Indonesia oleh Bjorka di forum Breach baru-baru ini menjadi bukti nyata bahwa sistem pertahanan siber kita masih bolong-bolong. Insiden ini bak tamparan keras yang menyadarkan kita bahwa ancaman siber bukan lagi teori belaka, tapi sudah mengetuk pintu gerbang keamanan nasional dan menjadi realitas yang mengancam keamanan informasi serta privasi warga negara.
Terlepas dari urgensi untuk menangkal ancaman siber yang sudah di depan mata, rencana pembentukan Angkatan siber di bawah naungan TNI membutuhkan kajian yang mendalam, mengingat kompleksitas dan implikasinya terhadap struktur pertahanan nasional yang sudah ada. Sejumlah pihak menilai bahwa pembentukan Angkatan Siber secara khusus di bawah naungan TNI tidak perlu karena Indonesia telah memiliki sejumlah Satker Siber baik itu di Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) maupun Kementerian Lembaga lainnya seperti TNI, Polri dan BIN. Pemerintah sebaiknya memfokuskan anggaran untuk peningkatan dan pengembangan SDM Siber di berbagai lini KL yang telah terbentuk ini demi mewujudkan efektivitas dan efisiensi anggaran. Hal Senada diungkapkan oleh Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI, bahwa Pembentukan Angkatan Siber harus didasari oleh kajian mendalam tentang efektivitas dan efisiensinya, bukan sekadar mengikuti tren global.
Membentuk Angkatan Siber di Indonesia bukanlah perkara yang mudah, terlebih lagi negara ini telah memiliki sejumlah Lembaga dengan satuan kerja yang menitik beratkan tusi-nya pada upaya penangkalan maupun penanganan ancaman siber. Di tubuh TNI sendiri, saat ini, selain memiliki Satsiber TNI, masih ada Pussansiad, Dispamsanau, Dispamsanal, Pusintelad, serta Bais di mana masing-masing satker tersebut dalam 2-3 tahun terakhir ini memperoleh alokasi anggaran terkait sarana dan prasarana intelijen yang berfungsi dalam rangka attack, defence maupun monitoring ancaman siber. Sementara itu, Badan Intelijen Negara juga memiliki Deputi Intelijen Siber yang tusi-nya terkait dengan pertahanan dan keamanan siber. Di sisi lain, Salah satu tantangan utama dalam pembentukan Angkatan Siber TNI adalah potensi tumpang tindih tugas dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). BSSN, yang dibentuk melalui Perpres No. 53 Tahun 2017, sudah memiliki mandat untuk menangani keamanan siber nasional. Dr. Ardi Sutedja, pakar keamanan siber, berpendapat, bahwa Pembentukan Angkatan Siber TNI memang penting, namun harus diimbangi dengan reformasi struktural BSSN agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Sehingga, dengan kata lain, kalaupun Angkatan siber TNI ini jadi dibentuk, maka diperlukan delineasi yang jelas antara peran pertahanan siber militer dan keamanan siber sipil.
Tidak hanya terkait potensi tumpang tindih kewenangan dengan BSSN dan satker siber yang telah ada, pembentukan Angkatan Siber di bawah naungan TNI juga berpotensi memunculkan masalah terkait efisiensi anggaran dan sumber daya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pembentukan angkatan baru dalam struktur militer tentu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Di sisi lain, dalam upaya pembentukan Angkatan Siber TNI ini tahap perekrutan dan pelatihan personel di matra yang baru juga berisiko memunculkan pemborosan anggaran dan waktu. Terlebih lagi dengan sistem pengadaan yang berlaku di berbagai Kementerian/ Lembaga, terkadang ketergantungan kolaborasi dengan pihak swasta tanpa regulasi yang matang justru dapat memunculkan masalah keamanan data, seperti yang terjadi pada kasus Kebocoran Data PDN Kominfo beberapa waktu lalu. Pengembangan SDM siber di Indonesia harus dapat menekankan pentingnya “cyberworkforce development” sebagaimana diungkapkan oleh Dawson & Thomson (2018) bahwa dalam membangun kapabilitas siber nasional diperlukan Pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan[3]. Hal ini dapat diwujudkan dimulai dari Program pendidikan yang mencakup pengembangan kurikulum khusus keamanan siber, pelatihan reguler dan sertifikasi internasional untuk personel, rekrutmen talenta dengan insentif khusus untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik di bidang keamanan siber serta penyusunan doktrin pertahanan siber maupun pengembangan strategi deterrence siber yang komprehensif dan kredibel.
Mayjen (Purn) Sisriadi mantan Kepala Pusat Penerangan TNI menyatakan bahwa dalam pembentukan Angkatan Siber perlu ada koordinasi yang jelas dengan BSSN untuk efisiensi anggaran dan optimalisasi fungsi. Maka dari itu, demi mengoptimalkan fungsi penangkalan terhadap ancaman siber, selain delineasi yang tegas dan efisiensi anggaran, kerangka hukum yang matang adalah hal wajib yang perlu dipikirkan dan dibuat. Rule of Law in Cyberspace merupakan hal penting yang perlu diantisipasi, karena tanpa payung hukum yang jelas, Angkatan Siber TNI justru bisa jadi bumerang bagi demokrasi kita sendiri. Sehingga, jikapun Angkatan siber ini dibentuk di bawah naungan TNI, maka guna memberikan landasan legal yang kuat atas Angkatan siber TNI ini, dibutuhkan Revisi Undang-Undang yang dapat mengakomodir masuknya domain siber sebagai area operasi, sinkronisasi antara Angkatan Siber TNI, BSSN dan Lembaga terkait lainnya serta melakukan penyesuaian dengan standar dan praktik internasional dalam operasi siber militer. Selain itu hal yang tidak kalah penting adalah pengembangan kode etik untuk operasi siber militer berikut dengan mekanisme pengawasan parlemen untuk operasi siber TNI ini.
Berbagai permasalahan di atas menjadi PR besar dalam rencana pembentukan Angkatan Siber di bawah naungan TNI sehingga upaya negara dalam merespons ancaman siber ini tidak memunculkan apa yang disebut oleh James Buchanan dan Gordon Tullock sebagai “bureaucratic empire-building“[4]. Teori ini menekankan bahwa pembuat kebijakan dan birokrat juga memiliki kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi keputusan publik. Dalam konteks pembentukan Angkatan Siber, perlu diwaspadai adanya potensi “bureaucratic empire-building” yang dapat mengarah pada ajang pemborosan anggaran dan ajang pamer otot birokrasi.
Terlepas dari pro kontra pembentukan Angkatan Siber di bawah naungan TNI, Pemerintah memang perlu segera merespons ancaman keamanan siber negara dengan cepat dan bijak. Keberhasilan inisiatif ini akan bergantung pada komitmen politik, alokasi sumber daya yang tepat, dan kolaborasi yang erat antara berbagai pemangku kepentingan. Dalam menghadapi tantangan redundansi dan efisiensi anggaran, penting untuk memastikan bahwa pembentukan Angkatan Siber TNI tidak hanya menjadi penambahan struktur baru, tetapi juga dapat mengoptimalkan dan mengintegrasikan sumber daya yang sudah ada. Dalam jangka Panjang, apapun bentuknya, (Angkatan Siber baru ataupun Angkatan Siber hasil optimalisasi dan integrasi sumber daya siber yang sudah ada) diharapkan mereka dapat menjadi pilar penting dalam menjaga kedaulatan digital Indonesia serta mampu berkontribusi pada stabilitas keamanan regional maupun global di era digital ini.
Di tengah hiruk pikuk politik dan gosip viral, penting untuk diingat bahwa keamanan siber adalah tanggung jawab bersama. Meskipun Angkatan Siber yang nantinya dibentuk akan memainkan peran krusial, keterlibatan aktif dari sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil tetap diperlukan untuk membangun ketahanan siber nasional yang komprehensif. Dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif, Indonesia dapat memosisikan dirinya sebagai negara yang tangguh dan berdaulat dalam menghadapi tantangan keamanan di era digital.