Oleh : Mario B. Wiratama
Gula merupakan salah satu komoditas vital dalam sejarah perekonomian Indonesia, terutama di masa kolonial. Bukan hanya sebagai barang konsumsi, tetapi juga sebagai penggerak utama ekonomi kolonial Belanda. Dengan kondisi tanah dan iklim tropis yang mendukung, Indonesia, khususnya Jawa, sempat mendominasi pasar gula global, bersaing dengan Kuba. Akan tetapi, masa kejayaan tersebut perlahan sirna seiring perubahan kebijakan, pendudukan Jepang, dan beragam masalah pascakemerdekaan. Hingga kini, industri gula Indonesia belum sepenuhnya mandiri dan malah semakin tergantung pada impor, meskipun pemerintah berulang kali mencanangkan target swasembada. Artikel ini bertujuan menelusuri perjalanan industri gula dari masa kolonial, membahas tren impor gula di Indonesia, mengulas polemik impor dari masa ke masa, serta memberikan analisis kritis terkait ketergantungan gula pada impor yang masih berlanjut hingga saat ini.
Sejarah Gula di Indonesia
Sejarah gula di Indonesia berakar pada masa kolonial, saat Belanda mengembangkan perkebunan tebu untuk memenuhi permintaan di pasar Eropa. Selama abad ke-19, tepatnya antara 1870 hingga akhir abad, Jawa secara konsisten menjadi eksportir gula terbesar kedua setelah Kuba. Masa itu bisa dibilang merupakan tonggak awal berdirinya ratusan pabrik gula di pulau Jawa, menjadikannya pusat industri gula yang kuat dengan dukungan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830-an. Sistem ini membawa penderitaan bagi petani pribumi yang diwajibkan menanam tebu di lahan mereka, sementara keuntungan ekonomi sepenuhnya mengalir ke pemerintah kolonial.
Dalam perkembangannya, pabrik-pabrik gula mulai menggunakan teknologi canggih seperti vacuum pan, yang meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi. Bahkan pada tahun 1929, jumlah pabrik gula di Jawa mencapai 164 unit, dengan produksi 2,9 juta ton, yang sebagian besar diekspor. Gula menjadi komoditas utama di Hindia Belanda, mengalahkan ekspor produk lain seperti kopi, teh, dan karet. Namun, setelah sistem tanam paksa digantikan oleh Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada 1870, pihak swasta mulai memasuki industri gula, meningkatkan produksi sekaligus memperburuk kondisi para petani yang tetap tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak.
Sayangnya, kejayaan industri gula berakhir seiring pendudukan Jepang pada 1942. Banyak pabrik yang dihancurkan oleh Belanda sebelum mereka meninggalkan Indonesia, yang akhirnya menimbulkan penurunan produksi besar-besaran pada era kemerdekaan. Hingga masa Presiden Soekarno, berbagai kebijakan dibuat untuk menghidupkan kembali industri gula, salah satunya melalui Yayasan Tebu Rakyat (Yatra) pada tahun 1953. Kebijakan ini memberikan akses kredit berbunga rendah kepada petani, namun tetap saja, keengganan mereka untuk menanam tebu menjadi hambatan besar bagi kebangkitan industri gula nasional.
Gula di Indonesia dan Tren Impor
Kejayaan produksi gula lokal tidak berlangsung lama setelah kemerdekaan. Meski di tahun 1950-an telah dilakukan nasionalisasi pabrik-pabrik gula warisan kolonial, produksi gula Indonesia tak kunjung mampu mencukupi kebutuhan domestik. Berbagai tantangan mulai muncul, termasuk harga sewa tanah yang stagnan dan minat petani yang rendah untuk menanam tebu, karena tanaman lain seperti padi dianggap lebih menguntungkan. Situasi ini berlanjut hingga pada tahun 1967, Indonesia akhirnya harus membuka keran impor gula untuk pertama kalinya.
Kondisi ini terus berlanjut bahkan di era Presiden Soeharto. Pemerintah sempat meluncurkan program Pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada tahun 1975, dengan tujuan meningkatkan produksi gula melalui wirausaha petani. Sayangnya, kebijakan ini menimbulkan masalah baru karena kualitas gula yang dihasilkan buruk dan malah memicu keresahan di kalangan petani akibat pemaksaan yang dilakukan dalam pelaksanaannya. Tren impor yang dimulai pada masa Soekarno pun tak terbendung hingga kini, meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor gula.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021, produksi gula tebu dari perkebunan besar di Indonesia mencapai 1.033,3 ton, naik dari 975,6 ton di tahun 2020. Namun, peningkatan ini masih jauh dari kebutuhan nasional, sehingga impor tetap menjadi opsi utama. Situasi ini memperlihatkan bahwa kendati ada peningkatan produksi, kebijakan yang berjalan saat ini belum mampu membuat Indonesia mandiri dalam pemenuhan kebutuhan gula.
Polemik Kasus Impor Gula dari Masa ke Masa
Ketergantungan Indonesia pada impor gula telah menjadi polemik berkepanjangan. Di satu sisi, pemerintah berusaha meningkatkan produksi gula lokal, tetapi di sisi lain, rendahnya minat petani untuk menanam tebu dan kurangnya dukungan infrastruktur menjadi hambatan besar. Impor gula pertama kali dilakukan pada tahun 1967 di masa Soekarno dan terus berlanjut dengan intensitas yang berbeda-beda hingga sekarang. Kebijakan tersebut, meskipun bertujuan menstabilkan pasokan, sering kali dikritik karena dianggap melemahkan industri gula nasional.
Selama beberapa dekade, impor gula menjadi cara bagi pemerintah untuk menjaga stabilitas harga dan memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi lokal. Akan tetapi, kebijakan ini membawa dampak negatif bagi petani tebu lokal yang merasa tidak dilindungi oleh pemerintah. Program intensifikasi seperti yang dilakukan di masa Soeharto pun tidak sepenuhnya berhasil, karena gula yang dihasilkan justru tidak memenuhi standar kualitas. Situasi ini membuat petani merasa terpinggirkan, sementara pemerintah terus membuka keran impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Analisis Kritis
Ketergantungan Indonesia pada impor gula merupakan masalah yang harus segera diatasi. Pemerintah memang berupaya meningkatkan produksi melalui berbagai program, tetapi kebijakan tersebut tidak mampu berjalan efektif di lapangan. Salah satu masalah mendasar yang harus diperhatikan adalah rendahnya keuntungan bagi petani tebu, yang menjadi salah satu faktor utama rendahnya produksi gula lokal. Pemerintah perlu merumuskan insentif yang lebih menguntungkan bagi petani tebu, sehingga mereka lebih tertarik untuk menggarap lahan tebu daripada komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan seperti padi atau sawit.
Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan dukungan infrastruktur dan teknologi untuk produksi gula nasional. Indonesia perlu belajar dari negara lain yang mampu mempertahankan produksi gula tanpa ketergantungan pada impor, seperti Brasil dan India, yang telah sukses mengembangkan industri gula yang efisien melalui modernisasi teknologi dan perbaikan infrastruktur. Di sisi lain, regulasi yang mendukung kestabilan harga dan pasar bagi petani juga diperlukan untuk memastikan kesejahteraan mereka, sehingga mereka memiliki motivasi yang cukup untuk mendukung ketahanan gula nasional.
Selain masalah internal, ketergantungan pada impor juga menyebabkan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga di pasar internasional. Setiap kali ada lonjakan harga gula di pasar global, harga gula dalam negeri ikut terdampak, yang akhirnya membebani konsumen. Oleh karena itu, peningkatan produksi lokal bukan hanya menjadi kebutuhan bagi petani, tetapi juga bagi stabilitas harga gula yang lebih menguntungkan konsumen.
Apalagi dalam polemik domestik akhir-akhir ini, kasus korupsi impor gula yang melibatkan Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, menjadi cerminan serius terkait ketidakberesan dalam tata kelola impor pangan strategis di Indonesia. Pada periode 2015-2016, ia diduga terlibat dalam pengaturan kuota impor gula yang merugikan negara hingga sekitar Rp400 miliar. Skema ini melibatkan beberapa perusahaan swasta yang mendapatkan keuntungan besar dari alokasi kuota secara tidak sah. Praktik seperti ini menciptakan inefisiensi, menggerus kepercayaan publik, dan mempengaruhi harga gula yang dibeli konsumen. Korupsi semacam ini menunjukkan bahwa kebijakan impor yang kurang transparan tidak hanya membebani negara tetapi juga menghantam perekonomian petani lokal yang semakin sulit bersaing di pasar dalam negeri.
Kesimpulan
Ketergantungan Indonesia pada impor gula menunjukkan bahwa permasalahan ini sangat kompleks dan berakar pada kebijakan serta struktur industri yang belum mendukung swasembada secara memadai. Upaya kemandirian gula di Indonesia terganjal oleh rendahnya produktivitas lahan tebu, ketertarikan yang terbatas dari petani karena rendahnya insentif, serta minimnya investasi pada infrastruktur yang dapat menunjang industri ini. Sejarah panjang industri gula di Indonesia, yang berawal dari era kolonial dan mengalami masa kejayaan hingga penurunan drastis pasca-kemerdekaan, menunjukkan bahwa Indonesia perlu perbaikan kebijakan secara menyeluruh. Sistem tanam paksa pada era kolonial, meskipun eksploitatif, pernah membuat Indonesia sebagai salah satu produsen gula terbesar di dunia. Namun, sejak itu hingga kini, produksi gula nasional belum kembali ke puncaknya, dan ketergantungan pada impor masih terus berlanjut meski berbagai program peningkatan produksi telah diupayakan oleh pemerintah.
Salah satu hambatan utama bagi swasembada gula di Indonesia adalah rendahnya minat petani untuk menanam tebu, yang disebabkan oleh faktor ekonomi yang kurang menguntungkan dibandingkan komoditas lain. Tanaman tebu memiliki masa tanam yang lama dan membutuhkan biaya perawatan yang cukup tinggi, sementara harga gula yang dihasilkan sering kali tidak sebanding dengan upaya dan modal yang dikeluarkan petani. Oleh karena itu, untuk mendorong petani agar mau menanam tebu, pemerintah perlu menyediakan insentif ekonomi yang lebih menarik, misalnya dengan memberikan subsidi pada input pertanian atau memperkenalkan skema harga minimum yang menjamin keuntungan yang stabil. Kementerian Pertanian, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas sektor pertanian, dapat berkolaborasi dengan Kementerian Keuangan untuk mengalokasikan anggaran yang memadai guna meningkatkan daya saing petani tebu dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Selain masalah insentif, kendala lain yang signifikan adalah minimnya dukungan infrastruktur dan teknologi di sektor industri gula. Untuk menutupi defisit gula dalam negeri, pengembangan infrastruktur pabrik gula modern sangat diperlukan. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) perlu didorong untuk berinvestasi dalam modernisasi peralatan produksi, meningkatkan efisiensi pengolahan, dan meminimalkan kerugian pascapanen. Dengan infrastruktur yang memadai, proses produksi dapat berjalan lebih efisien, sehingga mampu bersaing dengan gula impor yang harganya lebih murah. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan pelatihan bagi petani mengenai praktik budidaya yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Program semacam ini dapat dilaksanakan dengan dukungan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian untuk memastikan keberlanjutan industri gula nasional.
Lebih jauh, pemerintah perlu memperketat tata kelola impor gula agar lebih transparan dan adil. Skandal korupsi seperti yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dalam pengaturan kuota impor menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dalam tata kelola impor pangan strategis. Kementerian Perdagangan perlu memperketat aturan impor dan memastikan bahwa alokasi kuota diberikan secara objektif dan bukan untuk kepentingan pribadi. Kebijakan impor seharusnya menjadi instrumen untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan, bukan sarana untuk mengeksploitasi sistem demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan transparansi yang lebih baik dalam proses alokasi kuota impor, pemerintah dapat mengurangi potensi penyalahgunaan, yang akhirnya akan melindungi kepentingan petani dan konsumen.
Terakhir, penting bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang mengurangi ketergantungan pada pasar gula internasional agar lebih stabil dan terhindar dari fluktuasi harga global. Ketergantungan pada impor membuat Indonesia rentan terhadap perubahan harga gula dunia, yang dapat berdampak langsung pada konsumen. Untuk itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, bersama lembaga-lembaga terkait, dapat merumuskan strategi jangka panjang yang berfokus pada kemandirian pangan, termasuk gula. Dengan kebijakan yang terintegrasi, bukan hanya ketergantungan pada impor yang bisa dikurangi, tetapi juga akan tercipta sistem pangan yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Keseluruhan langkah ini membutuhkan komitmen kuat dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga pelaku industri, agar cita-cita swasembada gula tidak hanya menjadi slogan, tetapi terwujud secara nyata. Peningkatan produktivitas, penguatan dukungan untuk petani, transparansi impor, serta modernisasi industri adalah pilar utama yang perlu diperhatikan dalam pembenahan industri gula nasional ini. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia tidak hanya bisa mandiri dalam pemenuhan kebutuhan gula, tetapi juga mampu menjadi pemain penting di pasar regional yang lebih luas.