Oleh: Ahmad Pradipta B.A
Indonesia merupakan negara agraris yang memprioritaskan ketahanan pangan sebagai salah satu indikator kesejahteraan nasional. Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas utama pemerintah Indonesia, terutama di tengah ancaman perubahan iklim dan ketergantungan pada impor. Program swasembada pangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional dan mengurangi ketergantungan tersebut. Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah telah memperluas program swasembada pangan ke berbagai wilayah, termasuk Papua. Papua, yang memiliki kekayaan lahan dan potensi alam, menjadi salah satu target program ini, terutama dengan kebijakan pengembangan food estate, yaitu kawasan pertanian skala besar. Namun, Papua memiliki karakteristik budaya dan ekologi yang sangat unik, sehingga pendekatan swasembada pangan yang digunakan di Jawa atau Sumatra tidak serta-merta cocok diaplikasikan di sana. Bagi masyarakat Papua, tanah dan sumber daya alam adalah bagian integral dari identitas budaya, spiritualitas, dan kehidupan sosial (Bertrand, 2018). Pendekatan swasembada pangan di Papua membawa tantangan, terutama ketika diterapkan pada masyarakat yang memiliki kearifan lokal kuat dalam hal pengelolaan sumber daya alam.
Papua memiliki sistem pangan yang sangat berbeda dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Masyarakat adat Papua mengandalkan hasil hutan, perikanan, dan praktik perladangan berpindah. Tanaman utama seperti sagu dan ubi adalah komoditas pangan lokal yang memiliki nilai simbolis dan spiritual yang kuat (Rerkasem, 2019). Sistem ini tidak hanya menyediakan bahan pangan, tetapi juga memelihara hubungan harmonis antara manusia dan alam. Praktik pengelolaan hutan dan ladang secara tradisional telah membantu melestarikan keanekaragaman hayati di Papua dan menjaga keseimbangan ekosistem. Namun, dengan masuknya kebijakan food estate, ada pergeseran besar dalam cara masyarakat lokal memperoleh dan mengelola pangan. Food estate berfokus pada tanaman seperti padi, jagung, dan singkong, yang bukan merupakan tanaman asli Papua. Penerapan tanaman-tanaman ini di lahan Papua dapat menggeser pola konsumsi dan tradisi pangan yang telah lama ada, mempengaruhi cara hidup dan interaksi masyarakat dengan lingkungan.
Program swasembada pangan yang dipaksakan dari pusat tidak hanya menyangkut produksi pangan, tetapi juga membentuk paradigma baru dalam cara masyarakat Papua memperlakukan alam. Banyak lahan adat dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit atau ladang komoditas yang tidak akrab bagi masyarakat setempat. Akibatnya, muncul konflik antara masyarakat adat dan pemerintah atau perusahaan yang mengelola lahan tersebut. Secara antropologis, perubahan ini melibatkan pergeseran dalam struktur kekuasaan dan pengaruh ekonomi yang kini beralih dari masyarakat adat ke tangan pemodal (Henley & Davidson, 2017). Selain itu, swasembada pangan juga membawa permasalahan ketergantungan baru. Jika selama ini masyarakat Papua mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka dari alam sekitar, maka dengan adanya perubahan pola konsumsi, mereka kini harus membeli beras atau bahan pangan lain yang dijual di pasar. Ketergantungan ini mengakibatkan kerentanan baru di kalangan masyarakat adat Papua, yang sebelumnya lebih mandiri dalam hal pangan (Mansoben, 2020).
Kebijakan Food Estate dan Tantangan Ekologis di Papua
Program food estate diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia sebagai solusi untuk memperluas lahan pertanian dan meningkatkan ketahanan pangan. Papua dipilih sebagai salah satu lokasi food estate karena dianggap memiliki lahan luas dan potensial. Program ini, di satu sisi, bertujuan meningkatkan produksi pangan nasional. Namun, di sisi lain, menghadapi tantangan besar dari segi sosial-budaya. Dalam banyak kasus, kebijakan ini membutuhkan perubahan pola penggunaan lahan yang seringkali mengabaikan hak adat dan praktik pertanian tradisional. Secara ekologis, konversi hutan alam menjadi lahan pertanian food estate dapat mengganggu keanekaragaman hayati yang menjadi bagian penting dalam sistem ekologi Papua. Hutan Papua tidak hanya menyimpan nilai ekonomi, tetapi juga ekologi dan budaya. Dari perspektif antropologi ekologis, perubahan penggunaan lahan ini berdampak pada keberlanjutan dan keseimbangan lingkungan yang selama ini dijaga oleh masyarakat Papua (Vayda, 1969).
Antropologi ekologis menunjukkan bahwa keberlanjutan suatu sistem pangan tergantung pada keselarasan antara masyarakat dan lingkungan (Vayda, 1969). Di Papua, peralihan dari sistem pangan lokal ke tanaman padi dan jagung juga berdampak negatif pada ekosistem. Lahan yang sebelumnya merupakan hutan kini digunduli dan dialihfungsikan, mengakibatkan erosi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan penurunan kualitas tanah. Selain itu, tanaman padi membutuhkan banyak air, sedangkan kondisi geografis Papua tidak selalu mendukung irigasi intensif seperti di Jawa. Dalam jangka panjang, ketergantungan pada komoditas pangan yang tidak sesuai dengan ekologi setempat dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan berdampak pada keberlanjutan produksi pangan.
Resistensi Masyarakat Lokal
Masyarakat Papua tidak pasif dalam menghadapi perubahan ini. Banyak di antara mereka yang melakukan resistensi dengan cara mempertahankan praktik pertanian tradisional. Beberapa kelompok adat menolak program pertanian modern yang merusak lahan adat mereka dan tetap bertahan dengan sagu dan ubi sebagai sumber pangan utama. Resistensi ini dapat dipahami sebagai bentuk perlindungan budaya dan identitas yang tidak ingin tergantikan oleh pola produksi yang didiktekan dari luar (Alua, 2021). Di sisi lain, ada pula sebagian masyarakat yang menerima perubahan ini, terutama generasi muda yang melihat peluang ekonomi dari pertanian modern. Namun, ketidaksesuaian antara kebutuhan pangan lokal dan tuntutan nasional tetap menimbulkan dilema tersendiri. Meski demikian, adaptasi ini tidak lepas dari dilema yang dihadapi oleh masyarakat adat Papua, di mana mereka harus memilih antara mempertahankan warisan leluhur atau mengikuti tuntutan ekonomi yang diperkenalkan oleh kebijakan nasional (Mansoben, 2020).
Secara antropologis, program ini memicu perubahan besar dalam pola konsumsi, produksi, dan hubungan masyarakat dengan alam. Tanah, yang dalam budaya Papua dianggap sebagai sumber kehidupan dan bagian dari identitas, berpotensi diubah menjadi aset ekonomi semata, mengabaikan nilai-nilai adat yang menghargai keberlanjutan dan keseimbangan alam. Kemudian, masyarakat Papua yang sebelumnya mengandalkan hasil hutan dan perladangan tradisional kini dihadapkan pada perubahan yang mengharuskan mereka beradaptasi dengan metode pertanian intensif. Pergeseran ini dapat menghilangkan sebagian kearifan lokal dan merusak hubungan harmonis yang mereka miliki dengan alam (Alua, 2021). Program ini juga memunculkan konflik kepentingan antara pemerintah, perusahaan swasta, dan masyarakat adat. Hak atas tanah adat sering kali terabaikan, karena lahan yang dialihfungsikan menjadi food estate berada di bawah kendali pemerintah atau perusahaan besar yang diberikan izin. Bagi masyarakat Papua, tanah bukan hanya sebagai aset ekonomi tetapi juga sebagai identitas budaya. Konversi lahan ini dapat memicu resistensi sosial, karena masyarakat adat tidak ingin hak mereka diabaikan (Henley & Davidson, 2017).
Penutup
Pendekatan swasembada pangan yang diterapkan di Papua menimbulkan tantangan bagi kehidupan masyarakat lokal. Sistem pangan lokal yang kaya akan kearifan budaya dan ekologi tergeser oleh kebijakan yang mengutamakan produksi dan konsumsi pangan nasional. Pendekatan antropologi membantu dalam menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat adat dalam perencanaan dan pengelolaan proyek food estate, agar dapat meminimalisir konflik sosial dan memastikan keberlanjutan yang selaras dengan budaya lokal. Karena keberhasilan swasembada pangan tidak dapat diukur hanya dengan produksi dan angka statistik, melainkan juga harus mempertimbangkan keberlanjutan budaya dan ekologi masyarakat setempat.