BRICS dan Pertarungan Baru Tatanan Ekonomi Global: Antara Dedolarisasi dan Kepentingan Indonesia

Ketika Dolar AS Tak Lagi Sendiri: Mengurai Dinamika BRICS dan Masa Depan Ekonomi Global

Oleh: Ayu Nikki Avalokitesvari

Bayangkan sebuah dunia di mana dolar Amerika Serikat bukan lagi raja mata uang global. Sebuah skenario yang dahulu terdengar mustahil kini perlahan menjadi kemungkinan nyata, seiring dengan menguatnya aliansi BRICS – kelompok negara berkembang yang kini semakin menantang dominasi ekonomi Barat. “BRICS bukan lagi sekadar akronim catchy yang diciptakan Goldman Sachs dua dekade lalu. Ini adalah manifestasi pergeseran kekuatan global yang fundamental,” ungkap Professor Li Wei dari Beijing School of Economics dalam sebuah wawancara eksklusif (Wei, 2024).

Pada 1 Januari 2024, Rusia menjadi Ketua bergilir Kelompok negara yang awalnya dibentuk oleh Brazil, India, China, Rusia dan kemudian diikuti oleh Afrika Selatan. Keketuaan Rusia ini menancapkan tonggak sejarah baru bagi BRICS dengan masuknya lima negara anggota baru, yakni Argentina, Arab Saudi, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Ekspansi ini bukan sekadar penambahan angka keanggotaan – ini lebih nampak seperti statement geopolitik. Dengan masuknya negara-negara ini, BRICS kini merepresentasikan lebih dari 45% populasi global, menguasai sekitar 36% GDP dunia, menyumbang seperempat dari ekonomi global, dan mencakup seperlima dari perdagangan global (World Bank Economic Review, 2024). Profesor Ahmad Hassan dari Universitas Cairo menyebut ini sebagai “momentum historis yang mengubah wajah ekonomi global” (Hassan, 2024). Memang, siapa yang menyangka bahwa negara-negara yang dahulu dianggap “berkembang” kini justru menjadi pionir transformasi sistem finansial global?

Dedolarisasi: Lebih dari Sekadar Wacana

Dalam beberapa tahun terakhir negara-negara Anggota BRICS meningkatkan langkah mereka untuk menurunkan ketergantungannya terhadap Dolar AS dalam melakukan perdagangan internasional. Keadaan ini semakin menguat pasca Perang Rusia-Ukraina di mana akses Rusia terhadap dolar AS dibatasi akibat sanksi internasional yang dijatuhkan terhadap Rusia. Rencana BRICS untuk menciptakan mata uang tandingan dolar AS bisa jadi bukanlah sekadar ambisi kosong. Inisiatif ini didorong oleh trauma kolektif negara-negara yang pernah menjadi target sanksi finansial Barat, serta aspirasi menciptakan sistem moneter yang lebih demokratis. Sebenarnya gagasan tentang membuat mata uang baru BRICS sebenarnya telah diusulkan secara terbuka oleh Presiden Brazil, Luiz Inacio Lula da Silva pada KTT BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan pada 23 Agustus 2023. Sementara dalam KTT BRICS di Kazan Rusia, 22-24 Oktober 2024 lalu, negara anggota BRICS belum membahas pembuatan mata uang baru. Meskipun beredar foto di sejumlah media di mana Presiden Rusia Vladimir Putin memegang selembar kertas yang diduga sebagai mata uang baru BRICS. Kantor Berita Reuters mengabarkan bahwa Putin sendiri telah menyatakan bahwa masih terlalu dini bagi BRICS untuk membahas pembuatan mata uang baru. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam KTT di Kazan para negara anggota BRICS membahas mengenai sistem baru terkait pembayaran antar negara dalam melakukan ekspor-impor atau keperluan lainnya. New Development Bank BRICS bahkan telah memulai studi kelayakan sistem pembayaran alternatif yang bisa menggantikan SWIFT (Zhou, 2024). Dr. Maria Silva, ekonom senior dari Universitas São Paulo menyatakan bahwa “Ini bukan tentang menghancurkan dolar, tapi tentang menciptakan alternatif yang lebih adil,” (Silva, 2024).

Drama Washington: Trump dan Upaya Mempertahankan Hegemoni Dolar

Berbeda dengan Joe Biden yang terkesan diam dan adem ayem dengan pertumbuhan dan “manuver” BRICS, Donald Trump, dengan gaya khasnya yang bombastis, telah menjadikan ancaman dedolarisasi BRICS sebagai amunisi kampanye. Trump dalam sebuah reli kampanyenya menyatakan bahwa “Amerika akan menghadapi konsekuensi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya jika BRICS berhasil dengan agenda mereka,” (Financial Times, 2024). Pasca kemenangannya dalam Pilpres Amerika Serikat, Donald Trump melalui platform media sosialnya bahkan “mengancam” negara BRICS agar tidak menciptakan mata uang baru. Trump menegaskan bahwa Amerika Serikat membutuhkan jaminan dari negara-negara BRICS untuk tidak menciptakan mata uang baru atau mendukung mata uang lain yang dapat menggantikan dominasi dolar AS. Jika rencana tersebut tetap dilaksanakan, negara-negara tersebut akan menghadapi tarif sebesar 100% dan kehilangan akses ke pasar ekonomi AS yang besar. Bahkan setiap negara yang mencoba menggantikan dolar AS dalam perdagangan internasionalnya “diancam” akan kehilangan hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat.

Statement Trump ini tentu memberikan efek detterence tersendiri terhadap negara anggota BRICS. Sebagaimana diketahui, Amerika Serikat merupakan negara importir barang dan jasa terbesar di dunia. Pemberlakuan pajak impor 100% terhadap barang dan jasa yang diimpor dari negara-negara tersebut tentu akan merugikan mereka. Terlebih lagi sejumlah negara anggota BRICS masuk ke dalam 15 besar Top Trading partner Amerika Serikat berdasarkan data dari US Census Bureau. Dengan kata lain, negara-negara ini menggantungkan perekonomian/ perdagangan negaranya dengan Amerika Serikat. China tercatat berada pada posisi ketiga dalam list trading partner Amerika Serikat dengan total nilai perdagangan 481,8 miliar dolar AS, ini menempatkan Amerika sebagai the biggest trading partner bagi China. Sementara itu, India berada di posisi kesepuluh dengan total nilai perdagangan mencapai 108,1 miliar dolar AS. Sedangkan Brazil berada di urutan ke-15 dengan total perdagangan 75,7 miliar dolar AS (United State Census Bureau, 2024).  Faktanya Amerika serikat merupakan rekan perdagangan terbesar ke-2 bagi India, Brazil, maupun Afrika Selatan, setelah China. Karena keadaan ini, “ancaman” dari Donald Trump mungkin menjadi batu sandungan terbesar bagi negara anggota BRICS untuk mewujudkan mimpi besar mereka, mematahkan hegemoni dolar AS dalam perdagangan internasional.

Dr. James Patterson dari Georgetown University memberikan perspektif menarik bahwa Reaksi keras Trump jutsru sesungguhnya mencerminkan kecemasan mendalam mengenai establishment Amerika Serikat terhadap berakhirnya era unipolar (Patterson, 2024). Patterson menganggap rekasi Trump menunjukkan bahwa Amerika mulai takut hegemoninya terhadap dunia internasional semakin memudar. Maka dari itu,m enggunakan kacamata Hegemonic Stability Theory, resistensi AS ini dapat dipahami sebagai upaya desperate AS dalam mempertahankan arsitektur finansial global pasca-Bretton Woods yang telah menguntungkan Amerika Serikat selama lebih dari tujuh dekade. Amerika tentu saja tidak rela hegemoninya atas ekonomi dan politik dunia diruntuhkan oleh sekelompok negara yang tadinya berada pada list “negara berkembang”.

Indonesia di Persimpangan: Bergabung atau Bertahan?

Terlepas dari gonjang-ganjing soal posisi Indonesia terhadap keanggotaan BRICS, mari kita  bicara angka. Perdagangan Indonesia dengan negara-negara BRICS pada 2023 mencapai 110 miliar dolar AS, dengan tren pertumbuhan yang bisa dikatakan sangat impresif. Investasi dari negara-negara BRICS di Indonesia juga melonjak 45% dalam periode 2022-2023. Menurut Dr. Bambang Wijaya, ekonom senior Institute of International Finance Jakarta sesungguhnya Indonesia berada pada posisi unik untuk memanfaatkan dinamika ini (Wijaya, 2024). Namun, pertanyaannya: apakah potensi ekonomi ini sepadan dengan risiko geopolitik yang mungkin dihadapi? Jika menggunakan pendekatan Balance of Power Theory, maka bergabung dengan BRICS sesungguhnya bisa memberikan Indonesia leverage diplomatik yang signifikan. Namun, seperti diingatkan oleh mantan diplomat senior Dino Patti Djalal, bahwa dalam dunia yang semakin terpolarisasi, Indonesia harus bermain cerdas dan tidak terburu-buru memilih kubu (Djalal, 2024).

Berdasarkan analisis komprehensif menggunakan berbagai perspektif teoretis dan data empiris, Indonesia sebaiknya mengadopsi apa yang penulis sebut sebagai “strategic hedging plus” – sebuah pendekatan yang memungkinkan Indonesia bermain cantik dalam percaturan politik internasional tanpa harus tersandera di antara pertempuran para raksasa. Di tengah dinamika tawaran keanggotaan BRICS yang semakin santer, Indonesia selayaknya dapat memanfaatkan peluang ekonomi BRICS secara selektif, namun tanpa memaksakan komitmen penuh pada keanggotaan BRICS. Sejalan dengan aksi tersebut Indonesia juga perlu untuk terus melakukan penguatan hubungan bilateral dengan anggota prominen BRICS seperti China, India, dan mungkin Rusia. Namun di saat yang bersamaan Indonesia juga tidak boleh lupa untuk memelihara relasi strategis dengan AS dan sekutunya. Kemudian, yang paling penting selain ketiga hal tadi adalah Indonesia memiliki PR besar untuk terus melakukan pengembangan kapasitas ekonomi domestik sebagai penyangga dari gejolak global.

Prof. Dewi Fortuna Anwar, pakar hubungan internasional berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu terburu-buru memutuskan untuk bergabung dengan BRICS. Karena yang terpenting adalah memastikan setiap langkah diplomatik Indonesia sejalan dengan kepentingan nasional jangka panjang (Anwar, 2024).

Mendayung di antara dua karang memang terdengar klise. Namun Indonesia pernah membuktikan pada dunia bahwa di tengah huru-hara Blok Barat dan Blok Timur, Indonesia muncul dengan gagasan Gerakan Non-Blok, dengan begitu piawai mengarahkan kapal melewati celah sempit di tengah perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet. Zaman boleh berubah, tantangan boleh semakin kompleks, namun upaya Negara untuk terus memajukan kepentingan nasional jangka panjang demi kesejahteraan rakyat di tengah gempuran instabilitas global adalah hal mutlak yang wajib terus dilakukan.

Related posts

Polemik Rencana Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% dan Strategi Mitigasi

Swasembada Pangan di Papua: Antara Kehidupan Lokal dan Tuntutan Nasional

Dari Tanam Paksa hingga Tergantung Impor: Kisah Gula yang Pahit

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Read More