Menilik Permasalahan Tenaga Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023

by admin
0 comment

Berbicara Masalah Ketenagakerjaan tidak lepas dari Pro Kontra Omnibus Law Cipta Kerja dimana terdapat beberapa Poin menimbulkan kontroversi khususnya terkait klaster ketenagakerjaan, dengan adanya UU Cipta Kerja dinilai membuat pekerja/buruh memungkinkan untuk jadi pekerja seumur hidup, hal tersebut dikarenakan sebelumnya berdasarkan aturan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dibatasi paling lama tiga tahun dan dapat diperpanjang 1-2 tahun. Selain itu permasalahan upah dianggap merugikan pekerja di UU CIpta Kerja tidak wajib adanya upah minimum Kabupaten/Kota. Dalam pasal 88 C disebutkan bahwa GUbernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu berdasarkan kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan dengan hal tersebut dapat memicu adanya buruh dibayar dengan upah murah.

Terhitung sejak 2020 hingga 30 Oktober 2024 Elemen Buruh terus melakukan Penolakan UU Cipta Kerja berupa aksi unjuk rasa damai hingga mengajukan gugatan judicial review terkait UU Cipta Kerja kepada Mahkamah Konstitusi RI, Pada 1 Mei 2023 Ketua Umum Serikat Buruh Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) Lukman Hakim mengatakan bahwa buruh tidak menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law secara keseluruhan, tapi hanya poin tertentu seperti upah buruh, jam kerja hingga hubungan kerja kontrak dan alih daya outsourcing.

Dalam perkembangannya pada 30 Oktober 2024 kemarin, Mahkamah Konstitusi RI memutuskan perkara pengajuan judicial review yang diajukan Elemen Serikat Pekerja Buruh dan Perwakilan Pekerja dengan putusan bahwa Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dengan dengan poin utama bahwa UU Ketenagakerjaan dipisah, Membatakan beleid multitafsir yang tidak mengatur pembatasan tegas soal masuknya tenaga kerja asing (TKA), Mempertegas durasi kontrak kerja, Pembatasan Jenis Outsourcing, Upah harus mengandung komponen hidup layak, Menghidupkan lagi dewan pengupah, Skala Upah harus proporsional, Upah minimum sektoral berlaku lagi, Serikat pekerja berperan dalam pengupahan, upah harus memperhatikan masa kerja, Pemutusan PHK baru bisa dilakukan usai putusan inkrah dan Batas bawah uang penghargaan masa kerja (UPMK).

Pasca Putusan MK Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diputuskan Mahkamah Kosntitusi RI Pada 30 Oktober 2024 dengan adanya perubahan aturan pengaturan pengupahan tenaga kerja dalam perubahan pengupahan ini terdapat penambahan tiga hal utama yaitu Komponen Hidup Layak (KHL), Dewan Pengupahan, dan Upah Minimum Sektoral (UMS). Dalam penentuan upah minimum setiap tahun yang diatur UU Cipta Kerja, upah minimum ditentukan melalui rumusan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu. Semua hitungan ini dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan ditetapkan kepala daerah sampai tingkat kabupaten/kota atas saran Dewan Pengupahan. Dengan putusan MK, maka penghitungan upah minimum harus menggambarkan KHL yang meliputi kelayakan hidup buruh MK juga kembali menghidupkan Dewan Pengupahan. Dewan Pengupahan ini adalah lembaga non-struktural yang terdapat unsur pemerintah, serikat pekerja dan pengusaha. Namun demikian masih belum terlaksananya penerapan pengaturan Upah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi mengingat pengusaha-pengusaha masih keberatan atas perubahan cara perhitungan upah buruh 2025 pasca keputusan MK terkait UU Cipta Kerja sementara batas waktu pengaturan upah Penyusunan Upah Minimum Tahun 2025 setelah adanya putusan MK soal uji Materi UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang CIpta Kerja paling lambat harus dilakukan tanggal 21 November 2024 sementara untuk penetapan UM Kabupaten/Kota dilakukan paling lambat 30 November 2024 terdapat perbedaan usulan penentuan upah minimum (UM) 2025 antara pihak serikat buruh dan pengusaha, Serikat Pekerja meminta agar penetapan UM 2025 tidak menggunakan PP 51.2023 serta menggunakan survey kehidupan layak dari unsur Dewan pengupah Kabupaten/Kota dengan memperpanjang penetapan UM sampai tanggal 10 Desember 2024.

Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023

 Putusan Pada Kamis 30 Oktober 2024 Mahkamah Konstitusi memutuskan dan mengadili Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang memutuskan

  • Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
  • Menyatakan frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri Tenaga Kerja”;
  • Menyatakan Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”;
  • Menyatakan Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan”;
  • Menyatakan Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan “Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf latin”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”;
  • Menyatakan Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya”;
  • Menyatakan Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa, “atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”;
  • Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
  • Menyatakan Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”;
  • Menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan”;
  • Menyatakan frasa “struktur dan skala upah” dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional”;
  • Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”;
  • Menyatakan frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”;
  • Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
  • Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan”, bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan”;
  • Menyatakan Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi”;
  • Menyatakan Pasal 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36 Lampiran UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”;
  • Menyatakan Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan, “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif”;
  • Menyatakan frasa “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”, dalam Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”;
  • Menyatakan frasa “pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial” dalam Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap”;
  • Menyatakan frasa “dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya” dalam norma Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI”;
  • Menyatakan frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” dalam Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “paling sedikit”;
  • Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia;
  • Menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma Pasal 156 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) tidak dapat diterima;
  • Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Alotnya Menetapkan Upah Minimum

Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli dalam merespon Putusan Mahkamah Konstitusi (1/10) bahwa sebagai negara hukum, pemerintah tentunya tunduk dan patuh atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pemerintah juga akan segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menindaklanjuti putusan tersebut. Langkah yang akan diambil Kemnaker, di antaranya dengan menginisiasi koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Kemnaker juga akan mengajak serikat pekerja/serikat buruh, Apindo, Kadin dan para pemangku kepentingan lainnya untuk berdialog mengenai tindak lanjut pasca-putusan MK.  Selanjutnya pada 4 November 2024 Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan bahwa aturan pengupahan bisa berbentuk peraturan menteri atau surat edaran yang bakal disampaikan kepada seluruh gubernur. Kementerian Tenaga Kerja sudah berdiskusi dengan Dewan Pengupahan Nasional dan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit yang melibatkan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha. Kami punya batas waktu sampai tanggal 7 November untuk keluar dengan sebuah apakah itu surat edaran ataupun itu peraturan Menteri Tenaga Kerja terkait tentang penetapan upah minimum yang itu nanti akan kami sampaikan kepada para gubernur se-Indonesia

Sementara Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan Buruh meminta pemerintah untuk patuh mengikuti regulasi dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law khususnya klaster Ketenagakerjaan, Kalangan buruh bakal melakukan aksi mogok nasional dalam dua pekan ke depan. Buruh menuding aksi berlangsung dikarenakan pemerintah dan DPR atas saran Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tidak mau menggunakan keputusan MK dalam regulasi penetapan upah sehingga disinyalir melanggar konstitusi.

Sisi lain Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, (8/10) Bob Azam mengatakan bahwa mengaku heran dengan pemerintah yang terlalu cepat merubah aturan mengenai upah buruh. Dalam satu dekade ini, setidaknya pemerintah merevisi 4 kali aturan ketenagakerjaan yang mengatur soal upah buruh. Bisa dibayangkan, 10 tahun ini, kita sudah jalani 4 perubahan perundang-undangan. Ini kan membuat wajah kita ini kurang baik, perubahan regulasi ini, bukan hanya menciptakan persepsi buruk Indonesia di mata investor. terkesan, negeri ini tidak memiliki kepastian hukum dalam jangka panjang. Jelas merugikan pengusaha padat karya dan modal yang biasanya berpatokan kepada kontrak panjang. Industri padat karya itu mereka harus membuat kontrak-kontrak jangka panjang 3 tahun, 4 tahun, tetapi kalau undang-undangnya berubah setiap 2 tahun itu susah.

Pandangan Guru Besar Bidang Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hum UGM Prof. Dr. Ari Hernawan, S.H., M.Hum berpendapat bahwa Putusan MK berpotensi dapat meningkatkan kesejahteraan para buruh. Salah satu keputusan yang disorot oleh masyarakat dan buruh adalah putusan terkait upah minimum, dengan diadakannya kembali upah sektoral yang notabene nilainya lebih tinggi dari UMK ataupun UMP. putusan ini cukup positif ya, karena yang paling tinggi itu kan memang upah minimum sektoral. Kemarin pada saat undang-undang Cipta Kerja kan dipertanyakan kenapa kok tidak lagi ada upah minimum sektoral. Apa rasionya? Nggak ada jawaban atas itu sekarang muncul lagi karena memang derajatnya dari sisi kualitas yang paling rendah itu upah minimum provinsi diatasnya upah minimum kota kabupaten, di atasnya itu upah minimum sektoral. keputusan MK terkait UU Ciptakerja juga berpotensi untuk mempengaruhi daya tarik investasi dari luar negeri. Investor itu butuh kebijakan yang nggak berubah-ubah. Masalahnya itu, kalau kebijakan yang berubah-ubah justru menakutkan investor. Apalagi ini berubahnya cepat banget nih. Investor butuh kepastian, bukan hanya pekerjanya, tapi juga perusahaan

Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI terhadap UU Cipta Kerja MK menegaskan Upah Minimum Sektoral  UMS harus diberlakukan kembali. Penyusunan Upah Minimum Tahun 2025 setelah adanya putusan MK soal uji Materi UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang CIpta Kerja paling lambat harus dilakukan tanggal 21 November 2024 sementara untuk penetapan UM Kabupaten/Kota dilakukan paling lambat 30 November 2024 terdapat perbedaan usulan penentuan upah minimum (UM) 2025 antara pihak serikat buruh dan pengusaha, Serikat Pekerja meminta agar penetapan UM 2025 tidak menggunakan PP 51.2023 serta menggunakan survey kehidupan layak dari unsur Dewan pengupah Kabupaten/Kota dengan memperpanjang penetapan UM sampai tanggal 10 Desember 2024. Disisi lain pengusaha mengusulkan beberapa hal soal penetapan UM 2025 diantaranya ingin memberlakukan PP 51/2023 sebagai kepastian penetapan UM 2025 serta menghindar dari politisasi penetapan UM. Meskipun Idealnya 21 November 2024 bagi Menaker merumuskan penetapan upah minimum di masing-masing daerah, namun karena putusan MK baru Kamis 31 Oktober 2024 Kementerian Ketenagakerjaan masih dapat mengkaji lebih jauh soal penetapan upah minimum di setiap daerah.

Penetapan Upah Minimum 2025 berpotensi mundur dari rencana 21 November hal tersebut disebabkan adanya kekosongan landasan hukum usai putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materiil UU Cipta Kerja. Tidak ada kewajiban untuk menetapkan kenaikan UM 2025 pada 21 November 2024 sebagaimana tertera dalam pasal 28A pada Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2023 tentang Pengupahan. Dalam PP itu, diamanatkan bahwa upah minimum provinsi (UMP) paling lambat diputuskan dengan Keputusan Gubernur dan diumumkan pada setiap tanggal 21 November tahun berjalan, karena klaster ketenagakerjaan dicabut maka aturan turunannya yakni PP 51/2023 ini pun tak berlaku maka waktu penetapan upah dapat diundur, namun dengan syarat bahwa adanya kesepakatan antara Menteri Ketenagakerjaan dengan serikat buruh terutama dalam kondisi force majeure pasca putusan MK mengingat belum ada ketentuan yang baru terkait kenaikan upah minimum. Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja perlu secara intens mengkaji mulai dari Dewan Pengupah Nasional, Lembaga Kerja Sama (LKS)-Tripartit, semua lembaga buruh, pengusaha untuk diajak konsolidasi oleh Kementerian Ketenagakerjaaan untuk mencari solusi yang tepat berhubungan dengan UMP.

Putusan MK memerintahkan perlunya UU Ketenagakerjaan Baru

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.168/PUU-XXI/2023 merombak UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Amar putusan itu memuat 21 substansi utama yang mengubah ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan UU 6/2023.  Selain amar putusan, penting mencermati pertimbangan hukumnya, melalui pertimbangan hukum putusan tersebut mahkamah memerintahkan pembuat UU untuk memisahkan klaster ketenagakerjaan dari UU 6/2023. Pertimbangan hukum itu intinya harus dibentuk UU Ketenagakerjaan baru, paling lama 2 tahun sejak putusan dibacakan. Pembentukan UU Ketenagakerjaan baru juga harus ada partisipasi aktif, bukan sekedar seminar. Pertimbangan hukum sendiri termasuk judicial order, dalam pertimbangan hukum ada ratio decidendi yakni argumen utama dalam sebuah penalaran hukum sehingga menjadi alasan diterbitkan putusan itu. Tak perlu didebat, pemerintah harus menjalankan pertimbangan hukum tersebut.

Pada putusan MK mahkamah juga mengkritik metode omnibus law dan UU 6/2023. Ketidakharmonisan dan tidak sinkron antara materi/substansi UU Ketenagakerjaan harus diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan. Sejumlah substansi peraturan perundang-undangan yang secara hirarki di bawah UU termasuk dalam sejumlah peraturan pemerintah dimasukan sebagai materi dalam UU Ketenagakerjaan baru. Dengan demikian ke depannya UU Ketenagakerjaan menjadi lebih mudah dipahami. Semua yang dinyatakan mahkamah baik amar putusan dan pertimbangan hukumnya wajib dilaksanakan setelah putusan dibacakan. Begitu pula peraturan pelaksana, tidak perlu menunggu diubah lebih dulu untuk menjalankan putusan tersebut.

Penutup

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil UU Cipta Kerja bersifat final dan mengikat, perubahan Pengaturan Upah setelah adanya UU Cipta Kerja maupun Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi perubahan upah pekerja disebabkan tidak adanya data-data yang independen yang dapat dijadian alat ukur dalam menetapkan angka upah minimum, ketidakpastian ini dapat berpotensi menimbulkan kekhawatiran para investor pengusaha yang dampaknya pada Negara seperti gelombang Pemutusan Hubungan Kerja dan menurunnya penyerapan tenaga kerja.

Kekosongan hukum terkait aturan batas waktu penetapan pengaturan upah Minimum dapat berpotensi menimbulkan gejolak ditengah masyarakat khususnya elemen serikat buruh/pekerja jika tidak ditemukan titik temu kesepakatan antara Kementerian Ketenagakerjaan, Serikat Buruh, Asosiasi Pengusaha Investor sehingga perlu adanya konsolidasi secara intens untuk mendapatkan jalan tengah untuk menetapkan pengaturan penetapan upah minimum dengan memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materil UU Cipta Kerja Klaster Tenaga Kerja.

Tantangan Pemerintah Pasca Putusan MK terkait Tenaga Kerja dengan membuat Undang – Undang Tenagakerjaan yang baru setidaknya dapat terlihat arah politik hukum ketenagakerjaan dari pemerintahaan Prabowo-Gibran dapat terlihat setelah pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 berakhir dan beragam peristiwa politik lainnya.  Potensi hambatan birokrasi kementerian ketenagakerjaa menjadi tantangan Pemerintah itu sendiri, alotnya negosiasi dengan kalangan pengusaha juga dapat menjadi tantangan tersendiri apabila tidak dikelola dengan baik dengan kebijakan yang dinilai memihak kaum pekerja/buruh. Selain itu serikat buruh harus siap mendorong dan mengawal pembentukan UU Ketenagakerjaan Baru.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00