Chindo: Diskriminasi atau Superioritas Etnis?

Oleh: Ahmad Pradipta B.A

Istilah “Chindo,” akronim dari Chinese-Indonesian, mencerminkan identitas pada kelompok komunitas Tionghoa-Indonesia. Namun, istilah ini juga memunculkan berbagai konotasi yang beragam, baik sebagai bentuk identitas kebanggaan maupun sebagai label yang mengandung potensi diskriminasi. Penulis akan mencoba mengeksplorasi dinamika penggunaan istilah “Chindo” dalam konteks sejarah, sosial, dan budaya, serta membahas bagaimana istilah ini memengaruhi persepsi masyarakat terhadap komunitas Tionghoa-Indonesia.

Komunitas Tionghoa-Indonesia telah menjadi bagian dari perjalanan sejarah Indonesia selama berabad-abad. Namun, istilah “Chindo” sebagai sebutan informal yang sering digunakan untuk merujuk kepada kelompok komunitas Tionghoa-Indonesia baru-baru saja muncul. Sebagai sebuah label, istilah ini dapat memuat dualitas makna yaitu sebagai pengingat diskriminasi yang pernah dialami komunitas ini dan sebagai stereotip superioritas ekonomi yang melekat pada mereka (Heryanto, 1998).

Latar Belakang Historis dan Sosial-Budaya

Komunitas Tionghoa pertama kali tiba di Nusantara sebagai pedagang pada abad ke-7 hingga ke-10, terutama melalui Jalur Sutra Maritim (Purwanto, 2010). Pada masa kolonial Belanda, status mereka sebagai “foreign orientals” sehingga terjadi pemisahan/dikotomi antara komunitas tionghoa-indonesia dengan masyarakat pribumi. Hal itulah yang menjadi dasar diskriminasi etnis yang bertahan hingga kini (Suryadinata, 1997). Istilah “Chindo” mulai populer pasca-Reformasi, ketika keterbukaan sosial dan politik memberi ruang bagi komunitas Tionghoa untuk mengekspresikan identitas mereka. Generasi muda mulai menggunakan istilah ini untuk merayakan keberagaman budaya dan sebagai simbol kebanggaan etnis. Namun, popularitas istilah ini tidak lepas dari berbagai dinamika social yang terjadi. Dalam beberapa kasus, istilah/sebutan “chindo” justru memperkuat stereotip negative seperti anggapan bahwa komunitas Tionghoa lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada integrasi sosial.

Diskriminasi dalam penggunaan istilah “Chindo”

Penggunaan istilah “Chindo” dapat merepresentasikan diskriminasi, terutama dalam konteks kehidupan social. Misalnya, istilah ini kerap digunakan untuk menandai komunitas Tionghoa-Indonesia sebagai “orang luar” yang berbeda dari mayoritas pribumi. Contoh diskriminasi dapat ditemukan dalam praktik segregasi sosial yang terjadi secara informal, seperti anggapan bahwa komunitas Tionghoa tidak berbaur dengan masyarakat lokal atau cenderung membentuk komunitas yang eksklusif. Diskriminasi struktural pada era Orde Baru, seperti pembatasan akses terhadap pendidikan dan kepemilikan tanah bagi warga keturunan Tionghoa, menunjukkan bagaimana istilah ini sering kali digunakan untuk menjustifikasi. Dalam konteks lain, penggunaan istilah “Chindo” sering disertai dengan sentimen negatif, terutama ketika dikaitkan dengan stereotip “penguasaan ekonomi” yang melekat pada komunitas Tionghoa-Indonesia. Ungkapan seperti “Chindo kaya tapi pelit” adalah salah satu contoh konkret bagaimana istilah ini dapat digunakan untuk memperkuat diskriminasi berbasis prasangka sosial.

Superioritas atau Stereotip?

Istilah “Chindo” adalah label yang sarat dengan stereotip dan persepsi yang bermacam-macam. Dalam banyak kasus, istilah ini menciptakan stereotip terkait dengan keberhasilan ekonomi dan pendidikan kelompok komunitas tersebut. Anggapan bahwa komunitas Tionghoa memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik dibandingkan komunitas lain adalah bentuk stereotip yang sering kali digunakan untuk memisahkan mereka dari masyarakat mayoritas. Stereotip ini menciptakan persepsi superioritas etnis, meskipun kenyataannya tidak semua individu dalam komunitas Chindo memiliki kemapanan ekonomi. Contohnya adalah anggapan yang umum digaungkan, bahwa bisnis besar di Indonesia sebagian besar dikuasai oleh komunitas Tionghoa, meskipun pada faktanya data menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil komunitas tionghoa yang benar-benar berada di posisi elite ekonomi (Chua, 2008). Di sisi lain, persepsi superioritas ini juga berimplikasi negatif, karena sering kali memunculkan kecemburuan sosial dan menjadi pemicu konflik horizontal. Contoh nyata adalah peristiwa kerusuhan Mei 1998, di mana stereotip superioritas ekonomi digunakan untuk menjustifikasi kekerasan terhadap komunitas Tionghoa.

Chindo Generasi Muda

Generasi muda Chindo menunjukkan penerimaan yang lebih positif terhadap istilah tersebut. Mereka justru menggunakannya sebagai simbol identitas budaya dan kebanggaan. Media sosial menjadi ruang di mana mereka mendefinisikan ulang istilah “Chindo,” menghilangkan stigma lama, dan menggunakannya untuk menampilkan keberagaman dan pencapaian mereka. Platform seperti Instagram dan TikTok dipenuhi dengan konten yang mempromosikan budaya “Chindo” secara positif, seperti makanan, tradisi, dan pencapaian akademis, yang mana pada akhirnya hal tersebut dapat melawan stereotip yang diskriminatif.

Namun, tantangan tetap ada. Beberapa generasi muda merasa terbebani oleh ekspektasi tinggi yang melekat pada istilah “chindo” sebagai bentuk superioritas. Hal ini menciptakan tekanan sosial untuk selalu “berhasil,” yang tidak selalu mencerminkan realitas yang dihadapi semua individu dalam komunitas tionghoa-indonesia. Pada saat yang sama, muncul kesadaran bahwa identitas “Chindo” bukanlah monolitik, melainkan menunjukkan banyak hal yang sangat beragam di kalangan komunitas Tionghoa-Indonesia. Respons positif tersebut menjadi langkah awal untuk menghilangkan stigma diskriminatif dan sekaligus sebagai awal sebuah identitas yang inklusif.

Penutup

Istilah “Chindo” masih memiliki makna yang berbeda-beda berdasarkan historis, sosial, budaya, dan modernitas. Sisi stereotip yang diskriminatif juga masih mendominasi dalam istilah sebutan “Chindo” terhadap komunitas tionghoa-indonesia. Namun disisi lain, istilah tersebut juga menunjukkan sebuah superioritas dalam sisi ekonomi yang melekat pada kelompok tersebut. Dengan demikian, “Chindo” bukanlah istilah yang netral, tetapi sebuah label yang sarat makna historis dan sosial.

Related posts

Paradoks Humanitarianisme dalam Aksi Demo: Peran NGO Asing dalam Aksi Demonstrasi yang Destruktif

Aksi Nirkekerasan: Jalan Damai dalam Menyuarakan Perubahan

BANJIR JAKARTA SEBUAH MASALAH BERULANG, SOLUSI YANG MASIH SAMAR

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Read More