#KaburAjaDulu: Pertarungan Neo-Nasionalisme dan Krisis Kepercayaan Generasi Muda

by admin
0 comment

Antara Mimpi Generasi Muda dan Ancaman Kehilangan SDM Berkualitas

Oleh: NN. Ayu Nikki A., M.Han

“Kabur aja dulu” – tiga kata sederhana yang belakangan ini viral di media sosial Indonesia. Tagar ini bukan sekadar lelucon atau trend biasa. Ia mewakili suara frustrasi ribuan anak muda Indonesia yang memimpikan masa depan lebih baik di negeri orang. Viralnya tagar #KaburAjaDulu tidak hanya mencerminkan keinginan anak muda Indonesia untuk mencari kehidupan lebih baik di luar negeri. Lebih dari itu, fenomena ini menggambarkan pertarungan ideologis antara semangat neo-nasionalisme yang digaungkan pemerintah dengan krisis kepercayaan yang dialami generasi muda terhadap sistem yang ada. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah Indonesia sedang menghadapi ancaman serius kehilangan talenta mudanya?

“Mengapa Anak Muda Ingin “Kabur”?

Survei terbaru dari Litbang Kompas (2023) menunjukkan 7 dari 10 mahasiswa Indonesia berencana mencari pekerjaan di luar negeri setelah lulus.[1] Angka ini memang mengkhawatirkan namun tidak mengejutkan. Beberapa alasan mendasari keinginan ini, seperti gaji yang lebih menjanjikan, kualitas hidup yang lebih baik bahkan peluang karier yang lebih luas. Tidak perlu berkaca terlalu jauh, Di Singapura, negara tetangga kita, seorang fresh graduate bisa mendapatkan gaji mulai dari SGD 3.500 (sekitar Rp 40 juta), bandingkan dengan di Jakarta, rata-rata gaji fresh graduate berkisar Rp-5-8 juta, di daerah Indonesia lainnya bahkan mungkin lebih rendah dari itu. Perbedaan ini sangat signifikan, apalagi dihadapkan dengan biaya hidup yang terus naik dan nilai uang yang tergerus oleh inflasi. Dr. Susanto (2023) dalam penelitiannya berjudul “Migrasi Tenaga Kerja Terampil Indonesia” menemukan bahwa 80% respondennya menganggap bahwa fasilitas publik, sistem pendidikan dan layanan kesehatan di luar negeri jauh lebih baik. Keadaan ini dipandang menjanjikan kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan hidup di Indonesia.[2]

Benturan Ideologi: Neo-Nasionalisme vs Realitas Generasi Muda

Dr. Arif Budiman dalam “Neo-Nasionalisme Indonesia Kontemporer (2023) mengidentifikasi bahwa Pemerintah Indonesia Tengah menggalakkan apa yang disebut sebagai “neo-nasionalisme pragmatis”.  Bentuk baru nasionalisme ini menekankan pada kebanggaan terhadap Pembangunan infrastruktur, optimisme pada bonus demografi seperti slogan “Indonesia emas 2045”, narasi “Indonesia maju”, serta semangat “bela negara” dalam konteks Pembangunan. Namun hal yang menyedihkan adalah pendekatan-pendekatan ini justru menciptakan gap dengan realitas yang dihadapi oleh sebagian besar generasi muda Indonesia. Gap  inilah yang kemudian menajamkan trust issue terhadap Pemerintah, terhadap sistem yang dirasa semakin tidak reliabel.

Survei dari Indikator Politik Indonesia (2023) mengungkap bahwa 65% responden usia 20-35 tahun mengalami krisis kepercayaan terhadap sistem yang ada. Beberapa faktor utamanya adalah ketidaksesuaian narasi dan realitas , rendahnya transparansi dan akuntabilitas, serta kebijakan yang tidak berpihak kepada generasi muda.[3] Generasi muda Indonesia saat ini didominasi oleh Generasi Z dan Milenial yang tumbuh dengan akses informasi yang luas, dengan satu jentikan jari, mereka bisa mendapatkan informasi apapun yang mereka perlukan. Keadaan ini membuat mereka dapat membandingkan secara langsung sistem di negara lain, termasuk negara maju, yang bekerja dengan lebih transparan dan akuntabel. Mereka memandang bahwa di luar negeri mereka bisa dinilai murni dari kemampuan, bukan dari koneksi “orang dalam” atau sebatas lagu lama “senioritas”. Kemudahan akses informasi ini pula yang menunjukkan dengan gamblang bahwa narasi “Indonesia Maju” tidak sejalan dengan realitas yang ada, di mana mereka masih kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Sebagian pengamat bahkan menyoroti bahwa ada kesenjangan besar antara retorika “memberdayakan anak muda” dengan kebijakan aktual pemerintah yang justru sering mengabaikan aspirasi mereka.

Pro-Kontra Haruskah kita Khawatir?

Prof. Bambang Wibowo dari Fakultas Ekonomi UI berpendapat bahwa mobilitas tenaga kerja yang mungkin terjadi seiring dengan viralnya #KaburAjaDulu adalah hal yang wajar di era global. Terlepas dari hal tersebut, yang harus kita pikirkan adalah bagaimana membuat mereka tetap berkontribusi untuk Indonesia, meski dari jauh. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa pengalaman internasional bisa memperkaya skill dan wawasan generasi muda. Selain itu remitansi (pengiriman uang dari luar negeri) dapat membantu perekonomian. Para diaspora ini dapat membentuk jaringan global yang menguntungkan Indonesia, sehingga pada saatnya mereka pulang ke Indonesia nanti mereka akan membawa ilmu dan modal untuk membangun negeri. Pandangan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Stark dan Bloom (1985) dalam perspektif teori New Economic of Labor Migration yang mengedepankan konsep “brain circulation” dan remitansi.[4] Mereka berargumen bahwa migrasi tenaga terampil dapat memberikan manfaat jangka Panjang melalui transfer pengetahuan dan modal.

Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena #KaburAjaDUlu bisa menjadi bumerang bagi pembangunan nasional. Ini terjadi karena dalam #KaburAjaDulu potensi Indonesia kehilangan SDM berkualitas yang sangat dibutuhkan untuk Pembangunan negeri menjadi meningkat. Prof. Widiarto dari LIPI dalam penelitiannya “Brain Drain dan Pembangunan Indonesia” (2023) menyatakan setidaknya akan ada tiga sektor yang terkena dampak serius dari brain drain yang mungkin terjadi akibat masifnya #KaburAjaDulu. Adapun ketiga sektor tersebut antara lain, sektor Pendidikan, sektor Kesehatan, serta sektor teknologi. Pada sektor Pendidikan dampaknya mencakup terhambatnya program riset unggulan karena kurangnya peneliti, 35% dosen muda berkualitas lebih memilih mengajar di luar negeri, serta kualitas Pendidikan tinggi yang terancam menurun. Pada sektor Kesehatan, rumah sakit daerah kekurangan dokter spesialis, perawat terampil banyak yang lebih memilih bekerja di luar negeri, dan distribusi tenaga Kesehatan yang semakin tidak merata. Sedangkan pada sektor teknologi, start-up lokal kesulitan mendapatkan developer berkualitas, proyek-proyek inovasi nasional terhambat, dan daya saing teknologi Indonesia bisa menurun.[5]

Fenomena #KaburAjaDulu jika tidak segera ditangani secara komprehensif berpotensi memunculkan dampak lanjutan yang lebih dari sekadar Brain Drain. Terlebih jika pemerintah gagal mengatasi akar masalah yang menjadi penyebab trust issue generasi muda terhadap sistem yang dibentuk oleh pemerintah. Prof. Vedi Hadiz dari University of Melbourne memperingatkan bahwa Indonesia tidak hanya kehilangan SDM, tapi juga mengalami erosi modal sosial ketika generasi mudanya kehilangan kepercayaan pada sistem. Sementara itu, menurunnya partisipasi politik anak muda, meningkatnya apatisme terhadap proses demokrasi dan potensi instabilitas sosial-politik jangka Panjang menjadi dampak yang juga tidak terelakkan. Trust issue ini juga dapat menyuburkan resistensi mereka terhadap narasi resmi yang digaungkan pemerintah dan skeptisisme terhadap kebijakan nasional.

Mencari Jalan Tengah: Rekomendasi Solusi

Perlu lebih dari sekadar program “kosmetik” untuk menuntaskan permasalahan yang menjadi dasar dari viralnya #KaburAjaDulu. Dibutuhkan perbaikan sistem yang Fundamental, mencakup pada reformasi birokrasi yang substantif, penguatan sistem anti korupsi, serta perbaikan sistem Pendidikan dan ketenagakerjaan. Perbaikan sistem Pendidikan dilakukan dengan penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan industri, peningkatan kualitas pengajar dan kerjasama internasional yang menguntungkan. Sedangkan perbaikan sistem ketenagakerjaan dilakukan dengan penyelarasan standarisasi gaji sesuai kompetensi, perbaikan sistem jenjang karier, serta peningkatan fasilitas dan tunjangan.  Pemerintah perlu membentuk program Retensi Talenta yang mengadopsi “Triple Helix” (Etzkowitz & Leydesdorff, 1995), di mana terdapat kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan industri untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan talenta.[6] Pemerintah juga perlu memikirkan Kebijakan terkait program pengembangan Diaspora yang memfasilitasi “brain circulation” seperti yang disarankan oleh Saxenian (2005) dapat mengubah brain drain menjadi keuntungan bagi Indonesia.[7] Selain itu, Pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk melakukan pemberdayaan nyata seperti program mentorship nasional, dukungan konkret untuk wirausaha muda, serta sistem merit yang transparan di sektor publik.

Penutup

Fenomena #KaburAjaDulu adalah cermin dari kegagalan neo-nasionalisme yang digaungkan pemerintah dalam merangkul aspirasi generasi muda. Trust issue yang terjadi bukan sekadar masalah persepsi, tapi berakar pada kesenjangan sistemik yang perlu segera diatasi.

Indonesia perlu menemukan keseimbangan baru, mempertahankan semangat nasionalisme sambil melakukan reformasi fundamental yang menjawab kebutuhan generasi muda. Tanpa ini, narasi “kabur” akan terus bergema, bukan karena generasi muda tidak cinta tanah air, tapi karena sistem yang ada gagal meyakinkan mereka bahwa masa depan mereka aman di negeri sendiri.

Fenomena #KaburAjaDulu bukanlah sekadar tren media sosial. Ia adalah wake up call bagi Indonesia untuk berbenah. Brain drain memang mengkhawatirkan, tapi bisa diubah menjadi brain circulation yang menguntungkan jika dikelola dengan tepat.

Yang dibutuhkan adalah kebijakan komprehensif yang tidak hanya mencegah talenta pergi, tapi juga menciptakan ekosistem yang membuat mereka ingin pulang dan berkontribusi untuk Indonesia. Seperti kata pepatah, “Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik di negeri sendiri.” Tapi untuk membuat pepatah ini relevan, Indonesia harus bekerja keras memperbaiki sistem dan menciptakan peluang yang lebih baik bagi generasi mudanya.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00