Oleh: Yusuf Ramadhan
Jakarta kembali tenggelam. Hujan deras yang mengguyur sejak awal Maret menyebabkan genangan besar di berbagai wilayah ibu kota. Ribuan rumah terendam, aktivitas lumpuh, dan warga terpaksa mengungsi. Kondisi ini seperti deja vu—banjir seolah menjadi siklus tahunan yang tak kunjung teratasi.
Gubernur Jakarta, Pramono Anung, menyatakan bahwa seluruh pompa air telah dioperasikan untuk mengurangi genangan. Namun, volume air yang berlebih tetap sulit dikendalikan. Selain hujan deras, luapan sungai seperti Ciliwung dan Pesanggrahan ikut memperparah kondisi. Bendungan Katulampa di Bogor bahkan mencapai status Siaga 3, menandakan potensi banjir kiriman ke Jakarta (Liputan6, 2025).
Meski bukan peristiwa baru, banjir kali ini kembali mengingatkan bahwa permasalahan fundamental di Jakarta masih belum tertangani dengan baik. Persoalan drainase, tata kota, hingga kebijakan yang belum terintegrasi dengan perubahan iklim membuat solusi banjir masih jauh dari kata efektif.
Kenapa Jakarta Masih Selalu Banjir?
Fenomena banjir di Jakarta adalah kombinasi dari faktor alam dan faktor manusia. Secara geografis, Jakarta memang berada di daerah rendah dengan banyak sungai yang bermuara ke laut. Namun, kondisi ini diperburuk oleh beberapa faktor lain yang bersifat struktural dan sistemik.
Pertama, curah hujan ekstrem yang meningkat akibat perubahan iklim. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa intensitas hujan di Jakarta dalam satu dekade terakhir mengalami peningkatan signifikan, sejalan dengan tren global perubahan pola cuaca ekstrem (BMKG, 2025). Kajian oleh Kuswanto et al. (2024) dalam International Journal of Climate Change Studies juga menunjukkan bahwa urbanisasi di Jakarta memperburuk efek urban heat island, yang berkontribusi terhadap peningkatan intensitas hujan lokal.
Kedua, sistem drainase yang tidak mampu menampung volume air yang meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Adhi et al. (2023) di Journal of Urban Water Management menunjukkan bahwa kapasitas drainase di Jakarta hanya mampu menampung sekitar 60% dari total air hujan yang turun pada musim hujan, sisanya meluap ke jalan dan pemukiman.
Ketiga, penurunan muka tanah dan buruknya manajemen tata kota. Kajian dari Abidin et al. (2023) dalam Environmental Earth Sciences menunjukkan bahwa Jakarta mengalami penurunan tanah rata-rata 5-10 cm per tahun akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan. Kondisi ini memperburuk daya tampung kota terhadap air, membuat genangan lebih cepat terjadi dan lebih sulit surut.
Keempat, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di hulu. Deforestasi dan alih fungsi lahan di daerah Puncak dan Bogor menyebabkan air hujan langsung mengalir ke Jakarta tanpa terserap tanah lebih dulu. Studi oleh Wibowo et al. (2024) dalam Journal of Hydrology and Environment menunjukkan bahwa hutan di wilayah hulu DAS Ciliwung berkurang hingga 30% dalam dua dekade terakhir, mengakibatkan peningkatan limpasan air ke Jakarta.
Bagaimana Negara Lain Mengatasi Banjir?
Jika dibandingkan dengan kota-kota besar di dunia yang juga menghadapi ancaman banjir, Jakarta tampaknya masih tertinggal dalam penerapan solusi berbasis infrastruktur dan kebijakan tata ruang.
Di Belanda, negara ini memiliki sistem pengendalian banjir yang sudah terbukti efektif melalui proyek Delta Works. Infrastruktur ini terdiri dari serangkaian bendungan, pintu air, dan penghalang laut yang dirancang untuk mencegah masuknya air ke daerah permukiman (Vermeer & Van Koningsveld, 2023). Selain itu, pendekatan Room for the River yang diterapkan di Rotterdam memungkinkan air untuk “menggenang secara alami” di area tertentu yang telah disiapkan, sehingga aliran air bisa dikendalikan tanpa merusak kota.
Di Jepang, Tokyo memiliki sistem bawah tanah raksasa bernama G-Cans Project, yang terdiri dari terowongan sepanjang 6,3 km dan lima silo penampung air raksasa yang mampu mengalihkan air banjir sebelum mencapai pusat kota (Takeuchi et al., 2023). Penelitian dari Asian Urban Flood Control Journal (2024) menunjukkan bahwa sistem ini mampu mengurangi 80% risiko banjir besar di wilayah Tokyo.
Sementara itu, Kuala Lumpur, Malaysia, mengandalkan SMART Tunnel (Stormwater Management and Road Tunnel), terowongan multifungsi yang berfungsi sebagai jalur transportasi saat normal dan berubah menjadi saluran air saat terjadi banjir (Shamsuddin et al., 2024). Sistem ini terbukti mengurangi banjir di pusat kota hingga 40% dalam satu dekade terakhir.
Solusi yang Cocok untuk Jakarta
Meskipun setiap kota memiliki pendekatan berbeda dalam menangani banjir, ada beberapa langkah yang bisa diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi Jakarta.
- Membangun Infrastruktur Serapan Air
Jakarta perlu meningkatkan kapasitas waduk dan kolam retensi seperti yang dilakukan Belanda. Konsep Room for the River bisa diterapkan dengan membangun lebih banyak zona penampungan air di sekitar sungai.
- Modernisasi Drainase dan Pengelolaan Air
Belajar dari Tokyo dan Kuala Lumpur, Jakarta dapat membangun sistem terowongan bawah tanah untuk mengalirkan air ke laut lebih cepat. Teknologi pompa dan pintu air otomatis juga perlu ditingkatkan.
- Mengurangi Penggunaan Air Tanah
Jakarta harus segera menerapkan kebijakan pembatasan air tanah dan memperbanyak sumber air permukaan sebagai alternatif, seperti yang dilakukan di Tokyo dan Singapura.
- Reforestasi dan Restorasi Daerah Hulu
Untuk mengurangi limpasan air dari Bogor ke Jakarta, perlu ada program restorasi hutan dan penanaman kembali daerah aliran sungai.
- Meningkatkan Tata Kelola Kota
Pembenahan tata kota sangat penting, termasuk moratorium pembangunan di daerah rawan banjir dan penerapan aturan ketat terkait ruang terbuka hijau.
- Edukasi dan Partisipasi Masyarakat
Pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam menjaga kebersihan saluran air dan menerapkan sistem pemantauan banjir berbasis komunitas seperti yang diterapkan di beberapa kota di Jerman (Müller et al., 2024).
Akankah Jakarta Belajar?
Banjir di Jakarta bukan sekadar masalah curah hujan tinggi, tetapi cerminan dari perencanaan kota yang belum matang dan kebijakan yang belum benar-benar terintegrasi. Negara-negara lain telah membuktikan bahwa banjir bisa dikendalikan jika ada komitmen yang kuat untuk membangun sistem yang berkelanjutan.
Apakah Jakarta siap mengikuti jejak Belanda, Jepang, atau Malaysia? Ataukah kita akan terus terjebak dalam siklus banjir tahunan yang semakin parah?
Yang jelas, tanpa langkah konkret, skenario yang sama akan terus berulang: hujan turun, Jakarta banjir, pemerintah panik, warga mengungsi—dan setelah air surut, semuanya kembali seperti biasa. Sampai kapan?