Oleh: Elisabeth
Reformasi: Awal Harapan Rakyat
Reformasi merupakan tonggak sejarah yang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia. Lahir dari gelombang demonstrasi mahasiswa dan gerakan rakyat pada Mei 1998, Reformasi menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan otoriter Orde Baru. Setelah 32 tahun memimpin, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri dalam suasana krisis ekonomi, krisis kepercayaan, dan ketimpangan sosial yang sangat akut. Gerakan mahasiswa pada saat itu tidak hanya menuntut penggulingan pemimpin, tetapi mengusung perubahan sistemik: pemberantasan korupsi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta pembentukan pemerintahan yang demokratis, bersih, dan akuntabel.
Euforia pasca-Reformasi melahirkan banyak perubahan fundamental. Amandemen UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali, yang mengubah sistem pemerintahan secara signifikan: pemilihan presiden secara langsung, pembatasan masa jabatan, pembentukan lembagalembaga negara independen seperti KPK, KPU, dan MK. Selain itu, kebebasan pers yang semula dikekang mulai memperoleh ruangnya, dan otonomi daerah digalakkan sebagai bagian dari agenda desentralisasi.
Namun dalam perjalanannya, harapan reformasi menghadapi jalan terjal. Sistem politik yang diharapkan membuka partisipasi publik justru menjadi ladang bagi oligarki baru. Politik dinasti menjamur di banyak daerah. KPU mencatat bahwa dalam beberapa pemilu terakhir lebih dari 100 kepala daerah memiliki keterkaitan keluarga dengan pejabat publik. Proses Demkratisasi berubah menjadi persaingan antar elite yang bermodal besar, sedangkan rakyat tetap menjadi penonton di ruang pesta demokrasi yang disulap menjadi arena transaksional.
Tantangan Reformasi: Dari Dinasti Politik ke Pembungkaman Sipil
Setelah seperempat abad, Reformasi seperti kehilangan arah. Proses demokratisasi yang tadinya menjanjikan harapan, justru menumbuhkan praktik-praktik politik yang mengakar pada kepentingan elite. Fenomena politik dinasti dan penguatan oligarki menjadi ciri utama kontestasi politik saat ini. Hal ini tidak hanya menghambat regenerasi kepemimpinan, tetapi juga mempersempit partisipasi politik yang substantif. Dalam berbagai laporan, kekuasaan politik saat ini cenderung dimonopoli oleh segelintir kelompok yang memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan media.
Korupsi, yang menjadi musuh utama Reformasi, juga belum terselesaikan. Bahkan dalam beberapa hal, justru mengalami pelembagaan. Transparency International (2023) mencatat skor indeks persepsi korupsi Indonesia stagnan di angka 34 dari 100. Kasus-kasus besar seperti korupsi bansos, tambang, hingga korupsi di sektor energi menunjukkan bahwa sistem hukum belum mampu menjerat aktor-aktor utama yang terafiliasi dengan kekuasaan. Lebih ironis lagi, beberapa tokoh reformis justru terjerat dalam kasus korupsi, mengindikasikan bahwa perubahan institusi tidak serta merta mengubah mentalitas penguasa.
Kebebasan sipil, yang dulu menjadi kebanggaan pasca-Reformasi, kini mengalami kemunduran serius. Undang-Undang ITE menjadi instrumen negara dalam mengkriminalisasi ekspresi warga. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak aktivis, jurnalis, hingga akademisi yang diperiksa, ditangkap, atau diintimidasi karena mengkritik kebijakan pemerintah atau menyuarakan isu publik. Praktik pembungkaman ini mengingatkan pada model intelijen Orde Baru yang menyusup ke ruang sipil dan memantau segala bentuk perlawanan.
Tidak kalah mengkhawatirkan adalah upaya pembentukan narasi tunggal sejarah. Wacana penyusunan ulang buku sejarah nasional oleh pemerintah memicu kekhawatiran di kalangan akademisi dan pemerhati HAM. Dianggap sebagai alat legitimasi, revisi sejarah ini dikhawatirkan akan menghapus jejak pelanggaran HAM masa lalu, serta menanamkan versi tunggal yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Dalam konteks ini, memori kolektif tentang Reformasi bisa jadi direduksi menjadi sekadar peristiwa administratif, bukan gerakan rakyat yang menuntut keadilan struktural.
Kontinuitas Tantangan di Era Prabowo: Antara Asta Cita dan Realitas Politik
Pemerintahan Prabowo Subianto yang resmi memimpin pada 2024 membawa janji besar lewat 17 Program Prioritas dan konsep Asta Cita. Beberapa gagasan seperti makan bergizi gratis (MBG), dana abadi pesantren, hingga pemeriksaan kesehatan gratis menjadi simbol keberpihakan pada rakyat kecil. Namun, banyak kalangan menilai bahwa realisasi programprogram tersebut tidak lepas dari motif elektoral dan agenda poulis yang mengaburkan pembacaan kritis terhadap arah demokrasi.
Peluncuran Badan Pengelola Dana Nasional (Danantara) sebagai sovereign wealth fund yang dikendalikan langsung oleh Presiden menuai kritik dari para ekonom dan pegiat antikorupsi. Kekhawatiran terhadap akuntabilitas, potensi konflik kepentingan, dan lemahnya mekanisme pengawasan mengemuka, mengingat praktik-praktik serupa di negara lain sering kali menjadi ladang korupsi. Financial Times (2024) mencatat bahwa investor internasional mencemaskan keterkaitan erat antara konsentrasi kekuasaan eksekutif dan pengelolaan aset publik yang besar ini.
Pada saat yang sama, sektor pertahanan dan keamanan menunjukkan kecenderungan remiliterisasi sipil, terutama setelah revisi UU TNI yang memberi ruang bagi perwira aktif untuk menjabat di kementerian dan lembaga sipil. Langkah ini memicu kritik luas karena dinilai bertentangan dengan semangat Reformasi yang menegaskan supremasi sipil atas militer. Kekhawatiran semakin besar ketika isu keamanan mulai digunakan untuk membatasi ruang demokrasi, seperti pembatasan demonstrasi, pemantauan ormas, hingga peretasan terhadap kelompok kritis.
Dari luar negeri, berbagai lembaga dan media internasional mulai menyoroti gejala-gejala kemunduran demokrasi di Indonesia. Edward Aspinall dalam artikelnya di Asian Studies Review menyebut bahwa Indonesia mengalami “illiberal turn”—pergeseran dari demokrasi substansial menuju bentuk pemerintahan yang tetap demokratis secara prosedural tetapi autoritarian dalam praktiknya. Rencana revisi sejarah nasional oleh negara pun disorot oleh Reuters dan The Guardian, yang menilai bahwa demokrasi Indonesia berada dalam ancaman normalisasi otoritarianisme melalui alat-alat negara yang sah.
Masyarakat sipil dihadapkan pada dilema: antara mendukung agenda populis yang sesungguhnya penting bagi rakyat kecil, atau melawan konsolidasi kekuasaan yang semakin tertutup. Dalam konteks menjelang peringatan 21 Mei, kita patut merenungkan kembali bahwa demokrasi bisa dirampas bukan lewat senjata atau kudeta, tetapi melalui kebijakan publik yang membungkus kuasa dengan kesahihan hukum.
Penutup
Reformasi bukan sekadar peristiwa masa lalu, melainkan proses panjang yang menuntut kewaspadaan kolektif. Dalam konteks Indonesia hari ini, tantangan terhadap cita-cita Reformasi tidak datang secara gamblang, tetapi menyusup melalui kebijakan populis, penguasaan wacana sejarah, dan pelemahan lembaga pengawasan. Demokrasi bisa tergelincir ke arah otoritarianisme baru yang halus, tersembunyi di balik jargon pembangunan dan efisiensi. Maka penting untuk kembali menghidupkan semangat kritis, memperkuat masyarakat sipil, serta menjaga agar ruang-ruang partisipasi politik tetap terbuka. Menjelang 21 Mei, pesan Reformasi harus dibaca bukan sebagai perayaan simbolik, melainkan peringatan strategis: bahwa setiap kekuasaan yang tak diawasi, cenderung untuk menyimpang.