Idealisme yang Tergerus Transaksionalisme Akademik dan Politik

Oleh : Riki Darmawan

Mahasiswa secara historis selalu dipandang sebagai aktor utama dalam perubahan sosial, agen moral, dan penjaga nurani bangsa. Mereka tidak hanya menuntut ilmu di ruang kelas, tetapi juga membentuk opini publik, memobilisasi gerakan, dan menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, muncul istilah satiris “mahasewa”, sebuah permainan kata dari “mahasiswa” yang menggambarkan kondisi sebagian kalangan pelajar perguruan tinggi yang lebih pragmatis dan transaksional, menjadikan status kemahasiswaannya sebagai komoditas demi keuntungan pribadi. Fenomena ini memunculkan paradoks antara idealisme yang diagungkan dan realitas oportunistik yang dijalani.

Paradoks peran mahasiswa telah banyak dibahas oleh para pemikir sosial dan politik. Antonio Gramsci (1971) melalui konsep intellectual and moral leadership menggarisbawahi bahwa kaum terpelajar harus menjadi “organik”, terhubung dengan perjuangan rakyat. Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menyebut pendidikan harus membebaskan, bukan menjinakkan. Namun, dalam praktiknya, banyak mahasiswa hari ini justru bertransformasi menjadi alat kekuasaan atau pasar, kehilangan daya kritis dan keberpihakan moral. Istilah “mahasewa” muncul sebagai respons atas pergeseran nilai ini.

 

Sebuah Paradoks: Antara Idealime Akademik dan Komodifikasi Status Mahasiswa

Mahasiswa dalam sejarahnya memiliki peran penting dalam perubahan sosial, mulai dari Reformasi 1998 di Indonesia hingga Revolusi Iran dan Gerakan Mei 1968 di Prancis. Namun, kini terdapat gejala penurunan semangat perjuangan dalam dunia kampus, tergantikan oleh pragmatisme, pencitraan, dan bahkan transaksionalisme dengan kekuasaan atau sektor swasta. Fenomena ini terlihat dalam organisasi mahasiswa yang menjadikan aktivitas advokasi hanya sebagai tangga karier politik, atau kelompok-kelompok kampus yang menjual isu untuk mendapatkan proyek dan dana hibah.

Dalam logika neoliberalisme pendidikan, seperti yang dikritik Henry Giroux (2014), universitas tak lagi menjadi ruang kritik dan pencarian kebenaran, tetapi berubah menjadi korporasi akademik. Mahasiswa menjadi pelanggan (client) dan bukan lagi peserta didik (learner). Hal ini membentuk mentalitas “investasi balik modal”, di mana kegiatan kemahasiswaan dikalkulasi berdasarkan potensi keuntungan pribadi, bukan lagi komitmen perubahan sosial. Pierre Bourdieu (1986) menyebut ini sebagai bentuk reproduksi simbolik, di mana status sosial mahasiswa digunakan untuk mengakses modal sosial dan politik, bukan memperjuangkan keadilan.

Contohnya, dalam pemilihan presiden mahasiswa (presma), bukan hal asing jika praktik politik uang, manipulasi data suara, dan “koalisi elite” mewarnai proses elektoral. Kegiatan diskusi kritis digantikan seminar-seminar pencitraan yang lebih mirip pelatihan korporat. Tak sedikit mahasiswa yang lebih tertarik memburu magang prestisius di lembaga internasional demi LinkedIn mereka, ketimbang mengadvokasi isu warga miskin yang tergusur di dekat kampusnya.

Konteks Indonesia: Dari Kampus Perjuangan ke Kampus Pencitraan

Fenomena “mahasewa” sangat nyata dalam konteks Indonesia. Kampus-kampus yang dahulu dikenal sebagai pusat perlawanan kini justru menjadi ruang steril dari diskursus politik. Bahkan, tak sedikit rektorat yang membatasi kebebasan berpendapat mahasiswa atas nama “kenetralan akademik” atau “citra institusi”. Namun di sisi lain, beberapa kelompok mahasiswa justru menjadikan status “aktivis” sebagai pintu masuk menuju elitisme politik, menjadi broker antara kepentingan mahasiswa dan institusi pemerintah atau partai politik.

Saat gelombang demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja pada 2020, kita menyaksikan bagaimana fragmentasi di tubuh gerakan mahasiswa membuat tuntutan tidak solid. Ada yang turun ke jalan karena panggilan nurani, namun ada juga yang hanya menjalankan “kontrak turun aksi” dari pihak luar, termasuk partai politik, LSM, bahkan media. Isu diperjuangkan bukan karena keyakinan, tapi karena “konten” dan peluang ekspose. Ini merupakan distorsi antara “mahasiswa” sebagai agen perubahan, dan “mahasewa” sebagai aktor transaksional.

Menurut Saskia Sassen (2000), globalisasi ekonomi dan media menciptakan ruang-ruang baru yang menjadikan individu sebagai node dalam jaringan kepentingan yang lebih luas. Dalam konteks ini, mahasiswa bukan lagi subjek perlawanan, tetapi objek dari kapitalisme politik dan digital. Mereka menjadi “influencer sosial” yang nilai keberpihakannya diukur berdasarkan algoritma dan impresi digital, bukan kebenaran substansial.

Kesimpulan

Fenomena “mahasewa” bukan hanya kritik terhadap individu mahasiswa, tetapi refleksi atas transformasi pendidikan tinggi, politik identitas, dan lanskap sosial yang makin terpolarisasi. Ketika idealisme digantikan dengan strategi oportunistik, dan ketika pendidikan dimaknai sebagai investasi pribadi, maka cita-cita mahasiswa sebagai moral force kehilangan maknanya. Inilah paradoks mahasiswa kontemporer: di satu sisi dituntut menjadi agen perubahan, namun di sisi lain dibentuk oleh sistem yang mendorong konformitas, kompromi, dan kalkulasi pribadi.

Sebagaimana dikatakan Gramsci:

“The old is dying and the new cannot be born; in this interregnum, a great variety of morbid symptoms appear.”

Mahasiswa hari ini hidup dalam interregnum—antara harapan dan kenyataan. Maka tugasnya adalah menemukan kembali makna perjuangan, bukan dengan nostalgia masa lalu, tapi dengan keberanian menolak menjadi komoditas dan mulai menjadi subjek dari sejarah itu sendiri.

Related posts

Dinamika Gerakan Serikat Pekerja Indonesia Dari Dialog Sosial Hingga Aksi Jalanan

Reformasi 25 Tahun: Dari HarapanDemokrasi ke Realitas Kekuasaan

Paradoks Humanitarianisme dalam Aksi Demo: Peran NGO Asing dalam Aksi Demonstrasi yang Destruktif

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Read More