Gelar Honoris Causa: Sebuah Dilema dan Narsisme Akademik di Indonesia

by admin
0 comment

Oleh: Ahmad Pradipta B.A

Gelar “honoris causa” (HC) merupakan penghargaan akademik yang diberikan oleh institusi pendidikan tinggi kepada individu yang dinilai memiliki kontribusi luar biasa dalam bidang tertentu, tanpa melalui proses pendidikan formal. Di Indonesia, praktik pemberian gelar HC telah menjadi isu kontroversial, terutama terkait kriteria pemberian yang terkadang dianggap tidak jelas atau terkesan bermuatan politis. “Beberapa gelar HC tampaknya lebih diberikan untuk memperkuat hubungan antara universitas dan tokoh politik daripada untuk merayakan kontribusi akademik atau sosial yang signifikan” (Kompas, 2023). Artikel ini membahas dilema dalam pemberian gelar HC di Indonesia serta potensi narsisme akademik yang menyertainya.

Gelar honoris causa pertama kali diberikan oleh Universitas Oxford pada abad ke-15 sebagai bentuk penghormatan terhadap individu dengan kontribusi luar biasa. Teori yang relevan dalam diskusi ini mencakup konsep narsisme akademik dan teori legitimasi sosial. Menurut Deem dan Brehony (2005), narsisme akademik menggambarkan penggunaan simbol-simbol akademik, seperti gelar kehormatan, untuk meningkatkan citra atau status sosial seseorang, alih-alih mencerminkan penghargaan yang substansial terhadap kontribusi keilmuan. Selain itu, Menurut teori legitimasi sosial, suatu tindakan dianggap sah jika masyarakat atau kelompok yang lebih luas menerima dan mengakui tindakan tersebut sebagai benar atau layak. Hal ini sesuai dengan pandangan Weber (1968) yang menyatakan bahwa legitimasi adalah dasar dari kepatuhan dan pengakuan terhadap kekuasaan, dan itu dicapai ketika tindakan atau simbol dianggap sah oleh masyarakat. Dalam konteks pemberian gelar HC, legitimasi bisa diperoleh ketika masyarakat menganggap bahwa penerima gelar memang pantas menerimanya karena kontribusi atau pencapaian yang signifikan.

Namun, masalah muncul ketika gelar honoris causa diberikan kepada individu yang tidak memiliki kontribusi nyata di bidang akademik atau sosial, melainkan lebih kepada tokoh-tokoh berpengaruh secara politik atau ekonomi. Dalam kasus ini, teori legitimasi sosial dapat menunjukkan adanya “legitimasi semu,” di mana pengakuan diberikan bukan berdasarkan prestasi yang sebenarnya, tetapi karena status atau kekuasaan penerima. Pemberian gelar yang didasarkan pada pertimbangan politik atau kedekatan dengan elit dapat menyebabkan erosi nilai legitimasi akademik, karena masyarakat tidak lagi melihat gelar tersebut sebagai penghargaan murni terhadap pencapaian, melainkan sebagai alat politisasi (Deem dan Brehony, 2005).

Penghargaan Karena Prestasi atau Politisasi?

Pemberian gelar honoris causa yang sesuai seharusnya berbasis pada prestasi dan kontribusi nyata yang diakui luas, seperti dalam kasus penghargaan kepada tokoh-tokoh dengan pengaruh besar dalam kemanusiaan atau ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, Nelson Mandela menerima banyak gelar HC dari universitas terkemuka karena kontribusinya dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan mengakhiri apartheid. Seperti yang disebutkan oleh Cook dan Simpson (2014), honoris causa tidak sekadar gelar, tetapi simbol penghargaan atas dedikasi yang berdampak nyata.

Di Indonesia, banyak pemberian gelar HC kepada politisi yang masih aktif atau kepada pejabat yang dianggap kontroversial. Misalnya, gelar yang diberikan kepada beberapa tokoh politik telah memicu spekulasi bahwa penghargaan tersebut lebih didorong oleh motif politis. Menurut artikel Kompas (2023), beberapa universitas diduga menggunakan pemberian gelar HC sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan elit politik atau untuk mendapatkan dukungan finansial. Hal ini menciptakan persepsi bahwa gelar HC menjadi alat politisasi alih-alih penghargaan akademis yang murni.

Honoris Causa Sebagai Bentuk Narsisme Akademik?

Dalam konteks narsisme akademik, gelar honoris causa bisa menjadi sarana untuk meningkatkan status atau pengaruh sosial daripada mencerminkan kontribusi nyata. Ketika gelar kehormatan lebih sering diberikan kepada tokoh terkenal atau mereka yang memiliki kekuasaan, maka makna akademik dari gelar tersebut menjadi pudar (Deem dan Brehony, 2005). Praktek ini mencerminkan pergeseran nilai akademik yang lebih mengutamakan pencitraan dan hubungan daripada substansi ilmiah.

Di Indonesia, narsisme akademik terlihat dalam kasus pemberian gelar honoris causa kepada politisi aktif atau tokoh yang memiliki posisi strategis di pemerintahan. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya universitas untuk memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh tersebut guna memperoleh keuntungan seperti dukungan finansial, dukungan politik, atau legitimasi sosial. Kompas (2023) melaporkan bahwa beberapa universitas diduga menggunakan pemberian gelar HC sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan elit politik atau untuk mendapatkan dukungan finansial.

Dalam teori narsisme akademik, fokusnya bukan pada kualitas akademik atau kontribusi nyata dari penerima gelar, melainkan pada cara penghargaan ini dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan citra atau posisi lembaga yang memberikannya. Sebagai contoh, universitas yang memberikan gelar kepada tokoh terkenal dapat menarik perhatian media, meningkatkan eksposur publik, dan memperkuat citra sebagai institusi yang “berpengaruh.” Hal ini menciptakan suatu situasi di mana gelar HC tidak lagi dianggap sebagai penghargaan murni untuk kontribusi yang luar biasa, tetapi sebagai “alat pemasaran” bagi universitas.

Narsisme Akademik: Erosi Makna dan Standar Akademik

Pemberian gelar yang dipandang narsistik dapat mengarah pada erosi standar akademik. Deem dan Brehony (2005) menjelaskan bahwa narsisme akademik melemahkan nilai-nilai intelektual dengan menjadikan simbol akademik sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan sosial atau politik. Ketika gelar HC diberikan bukan karena pencapaian intelektual atau kontribusi yang substantif, tetapi karena hubungan atau popularitas penerima, maka makna gelar tersebut menjadi pudar.

Situasi ini juga dapat berdampak negatif terhadap kepercayaan publik terhadap institusi akademik di Indonesia. Ketika masyarakat melihat bahwa gelar kehormatan diberikan kepada individu yang tidak memiliki kontribusi nyata di bidang akademik atau sosial, hal tersebut dapat menurunkan kepercayaan terhadap kualitas dan integritas lembaga pendidikan tinggi. Dalam jangka panjang, praktik ini dapat merusak reputasi universitas dan mengurangi daya tarik penghargaan akademik secara keseluruhan.

Perbandingan dengan Negara Lain

Di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat, pemberian gelar honoris causa umumnya didasarkan pada proses seleksi ketat yang menilai kontribusi yang nyata. Harvard University, misalnya, memiliki kebijakan yang jelas dan transparan. “Kami tidak hanya memberikan gelar ini kepada siapa saja, melainkan kepada mereka yang telah menunjukkan komitmen luar biasa dalam melayani publik atau menghasilkan karya yang berpengaruh,” ungkap salah satu pengurus Harvard (Universitas Harvard, 2020). Hal ini berbeda dengan beberapa negara seperti Indonesia, di mana kriteria pemberian gelar terkadang dianggap tidak terlalu ketat.

Di Amerika Serikat, gelar honoris causa diberikan oleh universitas terkemuka seperti Harvard, Yale, dan Stanford kepada individu yang memiliki kontribusi signifikan dalam berbagai bidang, seperti aktivisme sosial, sains, seni, atau pelayanan publik. Penerima biasanya tokoh yang telah diakui luas oleh masyarakat atau memiliki dampak global. Menurut O’Connor dan Allen (2015), di universitas terkemuka di Amerika, pemberian gelar honoris causa dianggap sebagai bentuk penghormatan yang serius, dan proses seleksinya sangat ketat, dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari fakultas dan komite akademik. Artinya, ada mekanisme untuk memastikan bahwa penghargaan tersebut benar-benar mencerminkan kontribusi dan dedikasi yang luar biasa.

Di Inggris, praktik pemberian gelar HC juga diatur dengan sangat ketat, dan sering kali digunakan sebagai cara untuk menghormati kontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, kebudayaan, atau masyarakat. Universitas seperti Oxford dan Cambridge, yang memiliki tradisi panjang dalam pemberian gelar HC, biasanya memilih penerima yang telah menunjukkan pengabdian yang substansial di bidang yang mereka tekuni. Sebagai contoh, tokoh-tokoh besar seperti Nelson Mandela dan Stephen Hawking menerima gelar HC dari universitas-universitas terkemuka di Inggris karena pengaruh dan kontribusi mereka yang sangat luas.

Jepang memiliki tradisi akademik yang lebih konservatif dalam memberikan gelar honoris causa, dan biasanya gelar ini hanya diberikan kepada individu yang memiliki kontribusi luar biasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta hubungan internasional. Universitas seperti Tokyo University dan Kyoto University memilih penerima gelar HC berdasarkan dampak langsung dari kontribusi mereka terhadap masyarakat dan perkembangan negara. Sebagai contoh, mantan Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, menerima gelar HC karena kontribusinya dalam reformasi ekonomi dan hubungan diplomatik yang berdampak positif bagi Jepang di dunia internasional (Matsuda, 2016).

Penutup

Gelar honoris causa, meskipun bernilai tinggi, menghadapi tantangan besar terkait objektivitas dan independensi pemberiannya di Indonesia. Untuk mengatasi masalah narsisme akademik dalam pemberian gelar honoris causa, perlu ada reformasi yang jelas terkait kriteria dan proses seleksi penerima gelar. Institusi akademik harus memastikan bahwa pemberian gelar tersebut didasarkan pada kontribusi yang jelas dan terukur, serta memiliki nilai yang signifikan bagi masyarakat atau bidang keilmuan terkait. Dengan cara ini, gelar honoris causa dapat tetap menjadi simbol penghargaan yang bermakna, dan bukan sekadar alat untuk pencitraan atau kepentingan politik.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00