Peretasan infrastruktur vital Pusat Data Nasional Sementara pada 17 Juni 2024 menghebohkan publik. Peretasan ini tidak hanya berdampak pada pelayanan penting seperti imigrasi di Bandara Internasional Soekarno Hatta namun juga memicu kekhawatiran bocornya data sensitif ke publik. Peretas tidak hanya berhasil masuk ke dalam sistem akan tetapi juga menanamkan Ransomware yang mengakibatkan ketidakmampuan Pemerintah untuk mengakses data yang ada pada PDNS.
Diduga peretasan ini dilakukan oleh kelompok Ransomware Bernama Brain Cipher yang diungkapkan oleh Perusahaan keamanan siber asal Singapura (Stealthmole). Namun kemudian pada Rabu, 3 Juli 2024 kelompok Brain Cipher memberikan kunci dekripsi secara gratis walaupun pada awalnya mereka meminta tebusan sebesar USD 8 Juta.
Tak berselang lama, muncul fakta temuan baru yang diungkap melalui media sosial X, bahwa adanya dugaan kebocoran data user dan password terkait server PDNS oleh Dicky Prastetya Atmaja akibat unggahannya di platform SCIRBD. Tidak hanya itu, isu tersebut juga berkembang dengan temuan bahwa ybs. juga merupakan kerabat dari Pejabat di Kemenkominfo. Di mana kedekatan tersebut diduga menjadi dasar bagi ybs untuk ditugaskan sebagai EOS (Engineer On Site) di Kemenkominfo, walaupun akhirnya dikeluarkan karena tindakan indisipliner narkotika jenis sabu.
Kebocoran data ini memprihatinkan. Padahal anggaran belanja Pusat Data Nasional yang secara tematis masuk dalam golongan pengeluaran infrastruktur pemerintah menelan biaya yang tidak sedikit, bahkan mencapai Rp 112,9 triliun di tahun 2024. Jika dirinci lebih lanjut, Kemenkominfo mendapat jatah Rp 4,9 triliun, Di mana 700 miliar di antaranya digunakan untuk belanja pengembangan PDN dan sisanya Rp 1,6 triliun untuk biaya operasional dan pemeliharaan BTS 4G, pengembangan kapasitas satelit Rp 700 miliar, dan operasional Palapa Ring Rp 1,1 triliun.
Dari cerita singkat yang bisa publik ketahui dari berbagai media, apakah Indonesia layak dijuluki sebagai Negara Open Source? Berbagai temuan fakta yang terpampang nyata dan sangat gambang terlihat bahwa kesadaran Pemerintah terhadap pentingnya Pembangunan serta Keamanan infrastruktur digital masih minim. Terlepas dari besaran anggaran yg dialokasikan, angka tersebut gagal menciptakan ketahanan infrastruktur digital yang ideal. Kondisi memprihatinkan ini terlihat dari beberapa faktor seperti , ketiadaan server mirroring atau server backup, penggunaan pengamanan kurang mumpuni bahkan masih mengandalkan windows defender saja, serta ketiadaan penerapan SOP yang ideal dalam rangka Pembangunan hingga mitigasi serangan. Hal ini diperparah dengan ketidakdewasaan pengampu kebijakan yang saling melempar tanggung jawab dan ketidakmampuan mereka dalam memulihkan data pasca serangan secara cepat. Sebuah keadaan yang tentu semakin merugikan Masyarakat.
Adapun Refleksi yang perlu dijawab dari bencana digital ini adalah, apakah penggunaan anggaran PDNS ini dilakukan secara efektif dan efisien? Apakah Indonesia kekurangan tenaga ahli profesional dibidang teknologi informasi digital sehingga kebocoran dan kecolongan sejenis ini terus terulang? Ataukah sistem birokrasi saat ini tidak berjalan dengan semestinya dan menghambat keseluruhan eksekusi program di lapangan?
Nampaknya sudah waktunya Indonesia yang kita cintai ini mulai berbenah diri. Sistem meritokrasi sudah seharusnya tidak hanya menjadi slogan cantik di setiap lini birokrasi. Sistem ini harus diimplementasikan secara ideal di semua lini organisasi pemerintahan. Pemerintah juga perlu segera meningkatkan literasi dan kesadaran jajarannya terhadap pentingnya infrastruktur digital yang mengandung data sensitif, serta pengawasan yang super ketat diikuti dengan penanaman mentalitas anti korupsi dalam setiap penggunaan anggaran negara. Dengan demikian, visi dan misi menuju Indonesia Emas 2045 dapat terwujud, yang tidak hanya memajukan bangsa akan tetapi juga melindungi seluruh rakyat Indonesia termasuk DATA DIGITAL KITA.