Oleh : Adika Putra W
Pendahuluan
Organisasi non-pemerintah (NGO) kerap hadir sebagai simbol kemanusiaan, solidaritas, dan perlindungan hak asasi manusia serta keadilan sosial. Namun dalam beberapa waktu terakhir, peran NGO khususnya yang berasal dari negara-negara maju dalam dinamika politik lokal sering menimbulkan pertanyaan kritis. Salah satu fenomena yang mencolok adalah keterlibatan NGO dalam aksi demonstrasi yang berujung pada tindakan yang destruktif. Fenomena ini menimbulkan paradoks antara semangat humanitarianisme dan tindakan yang berujung pada yang bersifat destruktif.
Paradoks humanitarianisme telah banyak dibahas dalam literatur kontemporer. Didier Fassin (2012) menyebut bahwa tindakan kemanusiaan sering kali mengandung kontradiksi moral yang tidak sederhana. David Kennedy (2004) menyoroti sisi gelap dari praktik-praktik kemanusiaan yang bersifat intervensif. Sementara Joseph Nye (2004) memperkenalkan konsep soft power yang menjelaskan bagaimana aktor non-negara dapat menjadi saluran kepentingan geopolitik. Dalam konteks aksi destruktif, pemikiran Bakunin dan Chomsky memberikan gambaran mengenai penggunaan aksi langsung (direct action) sebagai cara melawan sistem kekuasaan yang represif.
Sebuah Paradoks: Ketika Solidaritas Berujung Tindakan Destruktif
Dalam banyak kasus, NGO asing menyatakan dukungan terhadap “suara rakyat” melalui aksi massa yang memperjuangkan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan reformasi politik. Namun, dukungan tersebut sering kali terwujud dalam bentuk pembiayaan, pelatihan, atau pemberian logistik untuk kelompok-kelompok yang terlibat dalam aksi demonstrasi yang destruktif. Contohnya terlihat dalam peristiwa Arab Spring (2010-2012), di mana sejumlah NGO asing berperan dalam memberikan pelatihan digital resistance, penggunaan VPN, hingga teknik-teknik mobilisasi massa. Gene Sharp, tokoh non-violence resistance melalui Albert Einstein Institution, menyatakan bahwa “non-violence is not passive; it is a strategy for taking power” (Sharp, 1973). Namun dalam praktiknya, strategi ini sering melintasi batas menuju kekacauan, seperti yang terjadi di Mesir dan Libya.
Keterlibatan NGO asing dalam aksi-aksi demonstrasi tidak semata karena panggilan moral, tetapi seringkali dilatari oleh motivasi ideologis dan geopolitik. Menurut Michael Ignatieff (2001), “human rights activism has become a vehicle for projecting power, wrapped in moral language.” Dalam hal ini, NGO menjadi instrumen soft power negara-negara donor atau kekuatan transnasional tertentu untuk menanamkan pengaruh atau menggoyahkan rezim yang tidak sejalan dengan kepentingannya.
Selain itu, menurut Giorgio Agamben (2005), konsep bare life digunakan untuk menjelaskan bagaimana individu yang dianggap korban dijadikan objek intervensi tanpa sepenuhnya diakui sebagai subjek politik. Dengan kata lain, NGO dapat bertindak seolah-olah menyelamatkan, namun secara bersamaan menegasikan kedaulatan lokal dengan logika non-lokal.
Paradoks ini menimbulkan persoalan yang serius. Ketika kekerasan dijustifikasi dengan alasan kemanusiaan, batas antara solidaritas dan subversi justru menjadi kabur. Negara-negara berkembang menjadi ruang eksperimen mereka untuk “perang” antara demokrasi dan otoritarianisme, yang mana seringkali justru rakyat sebagai korban utamanya. David Rieff (2002) mengkritik dengan keras semangat “liberal imperialism” di balik misi-misi kemanusiaan yang diselubungi oleh semangat universalisme barat. Ia menulis: “humanitarianism should not be a substitute for politics, and certainly not for justice.”
Konteks Asia Tenggara dan Indonesia
Dalam konteks Asia Tenggara dan Indonesia, menunjukkan bahwa beberapa NGO asing telah memberikan dukungan material kepada kelompok-kelompok sipil yang terbukti menggunakan taktik kekerasan saat aksi demonstrasi. Keberadaan front organizations menjadi modus yang kerap digunakan untuk menutupi keterlibatan langsung. Seperti Contoh kasus Myanmar (Burma) dan Gerakan Pro-Demokrasi 2021, setelah kudeta militer di Myanmar pada Februari 2021, gelombang demonstrasi besar-besaran mengguncang negeri tersebut. Banyak NGO asing secara terbuka mengecam dan memberikan dukungan moral maupun logistik kepada aktivis pro-demokrasi, termasuk melalui pelatihan keamanan digital, kampanye media internasional, dan penyaluran dana darurat. Namun, berdasarkan laporan investigatif dari The Diplomat dan Justice for Myanmar (2022) menunjukkan bahwa beberapa bentuk bantuan tersebut justru jatuh ke tangan kelompok militan sipil yang kemudian terlibat dalam aksi kekerasan terhadap aparat, serta sabotase fasilitas negara. Disisi lain, tujuannya tampak untuk memperjuangkan kebebasan dan HAM, namun efeknya justru menciptakan kekerasan baru.
Kemudian di Indonesia juga mengalami gejolak sosial besar saat gelombang penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja pada Oktober 2020. Demonstrasi yang dimotori oleh serikat buruh, mahasiswa, dan aktivis lingkungan ini awalnya berjalan damai, namun banyak berujung destruktif: pembakaran fasilitas publik, penyerangan terhadap aparat, hingga kerusakan infrastruktur. Data dari Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) dan beberapa pengamat politik menyebut bahwa terdapat infiltrasi dan pembiayaan dari lembaga asing terhadap beberapa LSM lokal yang turut menggerakkan massa. Meskipun belum ditemukan bukti langsung keterlibatan NGO besar internasional, namun jejaring LSM pendukung yang mendapat dana dari NGO asing seperti Ford Foundation, Open Society Foundations, dan Tides Foundation menjadi bagian dari rantai dari narasi penolakan yang cukup masif di media sosial dan ruang digital. Keterlibatan tersebut menuai kritik, karena di satu sisi mereka menyuarakan perlindungan hak-hak buruh dan lingkungan, namun di sisi lain terdapat indikasi untuk memperkuat narasi agitasi yang mendorong pada aksi destruktif.
Fenomena keterlibatan NGO asing dalam aksi-aksi demonstrasi yang destruktif memperlihatkan bahwa nilai-nilai seperti kemanusiaan dan demokrasi tidak selalu hadir dalam bentuk yang netral dan murni. Ketika idealisme berbenturan dengan strategi geopolitik dan ideologi global, terjadi distorsi nilai yang menjadikan perjuangan rakyat rentan dimanfaatkan. Inilah paradoks humanitarianisme: di satu sisi mengusung pembelaan terhadap hak asasi manusia, namun di sisi lain berpotensi menjadi katalisator disrupsi sosial yang merusak sistem sosial dan politik negara tersebut.
Sebagaimana dikatakan oleh Slavoj Žižek (2008):
“Sometimes, humanitarian intervention is not about saving the oppressed, but about reasserting the superiority of the West.”
Kedaulatan harus berdiri seiring dengan keterbukaan, namun keterbukaan yang bijaksana adalah yang mampu membedakan antara bantuan yang memang murni atau justru yang memecah belah. Hanya dengan itulah cita-cita “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia” bisa berdiri kokoh tanpa perlu mengorbankan keamanan dan integritas bangsa.