Oleh : Yusuf S.R
Konflik di Laut China Selatan atau lebih tepatnya Laut Natuna Utara telah menjadi polemik yang mengganggu stabilitas keamanan kawasan regional selama beberapa dekade terakhir. Konflik yang diinisiasi oleh klaim China atas Nine Dash Line ini memicu ketegangan tidak hanya dengan Indonesia, namun juga dengan berbagai negara di kawasan ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darusalam. Beberapa dekade terakhir, China secara aktif terus meningkatkan power-nya di wilayah Laut China Selatan dengan melakukan berbagai manuver seperti peningkatan aktivitas militer termasuk di dalamnya melakukan patroli serta latihan militer dan membangun pulau-pulau buatan. Konflik semakin memanas dengan kehadiran Amerika Serikat yang mengirim kapal perang mereka ke Laut China Selatan untuk melakukan operasi “kebebasan Navigasi” serta melakukan Latihan militer dengan negara sekutunya di kawasan seperti Filipina (Oktober 2023) dan Jepang (Februari 2024). Keadaan di sekitar kawasan Laut China Selatan yang memanas ini secara jelas meningkatkan spektrum ancaman terhadap Indonesia, khususnya di wilayah Laut Natuna Utara yang berbatasan langsung dan bahkan menjadi bagian dari klaim NDL China.
Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, secara geostrategis, Indonesia memiliki tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan empat titik pertemuan (Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Ombai-Wetar). ALKI I terbentang melintasi Laut Cina Selatan, Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Sunda, dan Samudera Indonesia. Sehingga dapat dipahami bahwa berdasarkan UNCLOS Laut Natuna Utara merupakan bagian dari ALKI I. Dengan kata lain, klaim China atas NDL yang tumpang tindih di wilayah Natuna Utara dan kawasan ZEE Indonesia adalah bentuk ancaman kedaulatan yang nyata terhadap Indonesia. Kondisi ini membawa tekanan dan dinamika kepentingan di laut natuna utara tidak hanya dirasakan secara langsung akan tetapi juga dilakukan dengan berbagai metode proxy war yang diantaranya memicu beragam kasus serangan siber.
Serangan siber ini terindikasi sarat akan kepentingan perebutan legitimasi wilayah di Laut China Selatan (termasuk di dalamnya laut Natuna Utara) mengingat kemajuan teknologi saat ini menjadi salah satu cara efektif dalam mencapai kepentingan negara di berbagai belahan dunia, China terindikasi beberapa kali melakukan serangan yang berkaitan erat dengan konflik di wilayah Laut China Selatan. Diantaranya :
- Pada tahun 2019, Vietnam mengalami serangan siber besar-besaran yang menargetkan situs web pemerintah dan perusahaan milik negara. Serangan ini dikaitkan dengan China sebagai balasan atas keputusan Vietnam untuk mengebor minyak di wilayah yang disengketakan.
- Pada tahun 2021, Filipina mengalami peretasan data besar yang menargetkan Departemen Luar Negeri. Diduga data yang dicuri tersebut terkait dengan sengketa Laut China Selatan.
- Tidak hanya China, sebagai negara adidaya Amerika Serikat juga dituduh melakukan spionase siber di Laut China Selatan. Pada tahun 2014, seorang analis NSA bernama Edward Snowden mengungkapkan bahwa NSA telah menyadap kabel komunikasi bawah laut di wilayah tersebut.
Klaim China atas NDL yang tumpang tindih di wilayah Natuna Utara dan kawasan ZEE Indonesia adalah bentuk ancaman kedaulatan yang nyata terhadap Indonesia. Kondisi ini membawa tekanan dan dinamika kepentingan di Laut Natuna Utara tidak hanya dirasakan secara langsung akan tetapi juga dilakukan dengan berbagai metode proxy war yang diantaranya memicu beragam kasus serangan siber.
Adanya upaya melakukan serangan siber diduga kuat untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan militer, strategi maritim, dan klaim territorial di wilayah Laut Natuna Utara. Indikasi adanya upaya tekanan menggunakan metode serangan siber tidak serta merta muncul tanpa adanya indikasi yang kuat. Mengutip dari USCC (U.S.-China Economic AND Security Review Commission) menyatakan bahwa China telah melakukan pembangunan besar-besaran terhadap kemampuan sibernya selama dekade terakhir. Mereka telah berhasil mengubah kebijakan institusi cyber, mengembangkan kemampuan cyber ofensif yang canggih, dan melakukan cyberespionase untuk mencuri kekayaan intelektual asing dalam skala industri. China juga menerapkan aturan yang berbeda dengan Amerika Serikat di dunia cyber, seperti mewajibkan perusahaan sipil dan peneliti melaporkan kerentanan perangkat lunak yang mereka temukan kepada pemerintah China sebelum pemberitahuan publik.
Kemudian dari penelitian Dr. Ronghui Yang, Asisten Profesor di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura tahun 2022 menemukan bahwa operasi siber China di Laut China Selatan mengancam keamanan regional. Dr. Yang berpendapat bahwa China menggunakan operasi siber untuk mencapai tujuan politiknya di wilayah tersebut, termasuk mengintimidasi negara-negara tetangga dan memajukan klaim maritimnya
Ketika membahas serangan siber, tidak serta merta hanya membahas serangan terhadap infrastruktur maupun spionase, akan tetapi juga tentang bagaimana kampanye propaganda agenda klaim Laut Natuna Utara oleh China melalui berbagai media yang ada dengan menerbitkan peta klaim wilayah, dokumentasi sejarah, hingga penyebutan wilayah tersebut dengan sebutan Laut China Selatan. Hal ini tentu memberikan doktrinisasi secara tidak langsung kepada dunia internasional bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah kedaulatan China sehingga ke depannya meninggalkan jejak bagi generasi penerus bangsa.
Kedaulatan Indonesia atas perairan di sekitar Kepulauan Natuna, termasuk Natuna Utara, didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional yang diatur oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dari tahun 1982. Penguatan kewilayahan laut Indonesia sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982 juga telah diperkuat melalui UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Upaya yang dapat dilakukan oleh Indonesia adalah harus hadir secara efektif di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif tersebut. Karena Zona Ekonomi Eksklusif adalah sesuatu yang disebut sebagai hak berdaulat. Hak berdaulat itu untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di ruang air dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut seperti pembangkitan tenaga dari air, arus, dan angin. Cara yang bisa dilakukan adalah menegaskan kehadiran fisik Indonesia secara konsisten di perairan Natuna Utara.
Selain UNCLOS, beberapa negara yang terlibat dalam sengketa Laut China Selatan juga mengacu pada perjanjian bilateral, seperti perjanjian batas maritim, dan prinsip-prinsip hukum internasional lainnya dalam upaya mereka untuk memperkuat klaim mereka. Namun, implementasi dan penegakan hukum UNCLOS terkait dengan sengketa di Laut China Selatan masih menjadi tantangan besar karena berbagai faktor politik, militer, dan ekonomi yang kompleks di kawasan tersebut.
Pada 2013 Filipina mengajukan keberatan atas klaim aktivitas China di Laut China Selatan kepada Mahkamah Arbitasi UNCLOS di Den Haag Belanda. Kemudian pada 2016 Pengadilan Arbitrase Internasional, memutuskan, China telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut China Selatan. Mahkamah Arbitrase PBB menyatakan bahwasanya China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan. Namun pemerintah China tidak menerima putusan tersebut. Sengketa ini menimbulkan banyak pertentangan maupun perdebatan, tidak hanya antara China dan Filipina saja, melainkan juga perdebatan antara lain Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia, tetapi untuk Indonesia menitik beratkan pada kasus Pulau Natuna saja. Dengan adanya Putusan Pengadilan Tetap Arbitrase (Permanent Court of Arbitration/PCA) dalam menyelesaikan kasus Filipina-Cina di Laut Cina Selatan, putusan tersebut bisa menjadi yurisprudensi bagi Indonesia dalam menghadapi sengketa serupa. Indonesia harus mengapresiasi putusan PCA dalam perkara yang diinisiasi oleh Pemerintah Filipina terhadap Pemerintah Cina terkait konflik di Laut Cina Selatan karena salah satu yang penting adalah klaim China atas Nine Dash Line dinyatakan tidak sah.
Urgensi penyelesaian konflik tapal batas Indonesia-China di Natuna Utara menjadi kebutuhan fundamental kepentingan nasional Indonesia, pengamanan sumber daya maritim dan energi, stabilitas kawasan dan jalur pelayaran global, serta manifestasi hak berdaulat berdasarkan ketentuan hukum internasional dan UNCLOS 1982. Klaim sepihak China terhadap Natuna Utara menjadi ancaman terhadap keamanan nasional dan kedaulatan wilayah laut Indonesia. Kondisi ini membatasi kemampuan Indonesia untuk menjalankan eksplorasi dan eksploitasi, serta segala bentuk pemanfaatan wilayah Natuna Utara. Putusan Pengadilan Tetap Arbitrase (Permanent Court of Arbitration/PCA) dalam menyelesaikan kasus Filipina-Cina di Laut Cina Selatan, bisa menjadi yurisprudensi bagi Indonesia dalam menghadapi sengketa konflik tapal batas Indonesia — China di Natuna Utara.
Konflik klaim kedaulatan di wilayah Laut Natuna Selatan seharusnya tidak hanya dilihat dari sudut pandang konflik yang menghasilkan tekanan sektor ekonomi maupun militerisasi atau diplomasi internasional, akan tetapi perlu adanya solusi nyata dalam melawan upaya proxy war memanfaatkan metode perang siber non konvensional dimulai dari penguatan infrastruktur siber dalam negeri dengan membuat satuan khusus lintas instansi bergerak di bidang siber.
Di sisi lain, Konflik klaim kedaulatan di wilayah Laut Natuna Selatan seharusnya tidak hanya dilihat dari sudut pandang konflik yang menghasilkan tekanan sektor ekonomi maupun militerisasi atau diplomasi internasional, akan tetapi perlu adanya solusi nyata dalam melawan upaya proxy war memanfaatkan metode perang siber non konvensional dimulai dari penguatan infrastruktur siber dalam negeri dengan membuat satuan khusus lintas instansi bergerak di bidang siber seperti Siber Polri, Siber BSSN, Siber BIN, Siber TNI hingga Kominfo untuk fokus terhadap potensi spionase yang sarat akan kepentingan geopolitik wilayah Laut Natuna Utara serta memperkuat propaganda doktrinisasi klaim wilayah dengan sosialisasi melalui berbagai acara dan kanal media yang ada hingga ke taraf kampanye internasional dimulai dari sebutan bahwa wilayah tersebut adalah LAUT NATUNA UTARA yang merupakan kedaulatan Indonesia. Dalam hal penguatan infrastruktur dan kampanye informasi ini pihak pemerintah juga dapat melibatkan peneliti atau ahli di bidang siber hingga influencer yang mampu memberikan dampak positif bagi gerakan mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia di Laut Natuna Utara.
Referensi:
Yoga Suharman, “Dilema Keamanan dan Respons Kolektif ASEAN Terhadap Sengketa Laut Cina Selatan,” Intermestic: Journal of International Studies 3, no. 2 (15 Mei 2019): 127
Fernandes dkk., “Status of Indonesia’s Sovereign Rights in the North Natuna Sea Conflict Area Consequences of China’s Nine-Dash Line Claim,” 29 Desember 2021
Ted McDorman, “Rights and Jurisdiction over Resources in the South China Sea: UNCLOS and the ‘Nine-Dash Line,'” dalam The South China Sea Disputes and Law of the Sea, vol. 5, 2014
https://www.uscc.gov/hearings/chinas-cyber-capabilities-warfare-espionage-and-implications-united-states
Dr. Ronghui Yang, Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura China’s Cyber Operations in the South China Sea: A Threat to Regional Security” oleh Ronghui Yang (2022)
Tim peneliti ancaman Insikt Group dari Recorded Future An Analysis of Chinese Cyber Espionage in the South China Sea” oleh Insikt Group (2021)