Polemik Rencana Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% dan Strategi Mitigasi

by admin
0 comment

Oleh : Yusuf S.R

Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 12%, sebagaimana diatur dalam Keterangan Tertulis No. 3 Tahun 2024 yang dirilis Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Penelitian oleh Keen dan Lockwood (2010) menunjukkan bahwa peningkatan tarif pajak konsumsi dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, tetapi juga harus memperhatikan dampaknya terhadap distribusi pendapatan dan konsumsi masyarakat. Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan pendidikan tetap bebas PPN, sementara beberapa komoditas seperti minyak goreng curah dan tepung terigu mendapat PPN Ditanggung Pemerintah (DTP). Pemerintah juga menyediakan berbagai insentif seperti diskon PPN DTP untuk sektor perumahan dan otomotif, bantuan pangan, serta subsidi bunga bagi industri tertentu.

Namun, rencana ini menuai protes dari berbagai elemen masyarakat. Media sosial menjadi salah satu wadah utama penyampaian penolakan, dengan tagar seperti #TolakPPN12Persen menjadi trending di platform X. Para pengusaha, akademisi, dan mahasiswa turut menyuarakan keberatan, mayoritas menyebut dampak kenaikan ini berpotensi melemahkan daya beli masyarakat dan memicu inflasi.

 

Dampak Ekonomi dan Sosial

Menurut kajian Celios, kebijakan kenaikan PPN ini diperkirakan akan menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp65,3 triliun dan konsumsi rumah tangga sebesar Rp40,68 triliun. Kajian serupa oleh Gemmell dan Morrissey (2005) menunjukkan bahwa kenaikan pajak konsumsi dapat memberikan tekanan pada pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang. Inflasi diprediksi naik hingga 4,11%, menambah tekanan pada daya beli masyarakat. Studi oleh Cnossen (2019) menegaskan bahwa peningkatan tarif PPN cenderung bersifat inflasioner, terutama jika diterapkan pada barang kebutuhan pokok yang memiliki elastisitas permintaan rendah. Kelompok rentan, termasuk Gen Z sebagai motor konsumsi, menghadapi dampak signifikan dengan tambahan pengeluaran tahunan.

Protes terhadap kebijakan ini juga menyuarakan kekhawatiran atas pelanggaran hak ekonomi masyarakat dan hambatan terhadap pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Akademisi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI) dan INDEF menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada reformasi perpajakan dan pemberantasan korupsi dibandingkan menaikkan tarif pajak.

Strategi Mitigasi

Untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan ini, beberapa langkah strategis dapat dilakukan:

  1. Sosialisasi Transparan: Pemerintah perlu menjelaskan secara masif manfaat dan tujuan kenaikan PPN, termasuk penggunaan dana tambahan secara transparan. Hal ini penting untuk meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap kebijakan tersebut.
  2. Subsidi dan Bantuan Sosial: Subsidi langsung kepada kelompok rentan dapat meredam dampak kenaikan harga barang dan jasa. Diskon PPN untuk sektor tertentu juga perlu diprioritaskan.
  3. Reformasi Perpajakan: Pemerintah perlu memperkuat reformasi sistem perpajakan untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio) melalui perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan pajak. Bird dan Zolt (2005) menunjukkan bahwa reformasi pajak yang inklusif dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa memberikan tekanan berlebihan pada masyarakat berpenghasilan rendah. Evaluasi terhadap proyek-proyek besar yang kurang produktif juga harus dilakukan.
  4. Pengawasan Sosial: Sentimen negatif di media sosial dan protes dapat menjadi ancaman stabilitas nasional. Pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap kelompok yang menolak kebijakan ini, sembari membuka dialog untuk memahami kekhawatiran mereka.

Kesimpulan

Berbagai kelompok dan kalangan akademisi menganggap pemerintah perlu menunda atau membatalkan kebijakan ini namun jika tetap dilanjutkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan membawa konsekuensi ekonomi, sosial, dan politik yang signifikan. Sehingga diperlukan langkah mitigasi yang efektif, termasuk komunikasi yang baik dan kebijakan subsidi untuk mengurangi dampak negatif kebijakan ini. Mengacu pada penelitian oleh Auerbach dan Gorodnichenko (2012) menyarankan pentingnya transparansi dan redistribusi dalam implementasi kebijakan fiskal untuk meningkatkan penerimaan publik terhadap kebijakan tersebut. Dengan reformasi perpajakan yang lebih akuntabel, pemerintah dapat mencapai tujuan fiskalnya tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00